Jumat, 06 Maret 2009

Mencermati Fatwa Asuransi Haji

jamaah haji asal Indonesia dari berbagai provinsi sudah tiba kembali dari melaksanakan ibadah haji di tanah suci. Sebagaimana di tahun-tahun sebelumnya, jamaah haji asal Indonesia tersebut diasuransikan oleh Depag melalui tender asuransi haji. Berdasarkan Fatwa DSN-MUI No.39/DSN-MUI/X/2002 tentang Asuransi Haji, telah ditetapkan bahwa akad yang dipakai dalam pengelolaan dana premi jamaah haji adalah akad tabarru (hibah), yang bertujuan untuk menolong sesama jamaah haji yang terkena musibah. Akad dilakukan antara jamaah haji sebagai pemberi tabarru dengan perusahaan asuransi syariah yang bertindak sebagai pengelola dana hibah. Pemegang polis induk dari seluruh jamaah haji adalah menteri agama yang bertanggung jawab atas pelaksanaan ibadah haji sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Isi dari fatwa tersebut yang menurut penulis perlu di-review menyangkut dua hal. Pertama, besarnya ujrah atau fee yang tidak disebutkan secara jelas angkanya. Dalam ketentuan khusus pada fatwa di atas hanya disebutkan bahwa asuransi syariah berhak memperoleh ujrah atas pengelolaan dana tabarru yang besarnya ditentukan sesuai dengan prinsip adil dan wajar. Namun adil dan wajar menjadi sulit dicari patokannya. Kedua, menyangkut surplus underwriting atau surplus operasional. Poin-poin inilah yang perlu ditinjau kembali agar tidak muncul perbedaan pendapat di kalangan praktisi asuransi syariah.

Pertama, soal besarnya ujrah yang hanya berpatokan pada prinsip adil dan wajar. Keadilan dan kewajaran ini tentu saja menjadi relatif apalagi karena asuransi haji ini (masih) dikelola oleh perusahaan asuransi yang bersifat komersial melalui proses tender. Sehingga peserta tender tentu saja memperhitungkan komponen profit di dalam penawarannya. Apakah jika kemudian perusahaan asuransi menetapkan ujrah sebesar 40 persen dari premi per nasabah atau dari total premi terkumpul telah dianggap mengikuti prinsip adil dan wajar?
Bisa jadi dari kacamata jamaah haji, angka 40 persen fee atau ujrah itu terlalu besar sehingga bisa saja dari aspek keridhaan, transaksi asuransi ini pun tidak memenuhi syarat saling rela di antara kalian (an taradhin minkum). Oleh karena itu fatwa tentang asuransi haji semestinya memasukkan angka persentase ujrah ini secara jelas sehingga perusahaan asuransi syariah sebagai pengelola dana premi jamaah haji tidak memberlakukan pemotongan premi ini sesuai keinginan sendiri.

Sebagai data, pada keberangkatan haji tahun 2008 telah ditetapkan PT Asuransi Syariah Mubarakah sebagai pemenang tender asuransi haji, dimana per jamaah haji dipungut premi sebesar Rp100 ribu, dengan manfaat meninggal dunia biasa Rp28,5 juta dan manfaat meninggal dunia karena kecelakaan sebesar Rp57 juta (dua kali manfaat natural death). Lalu berapa ujrah yang berhak diperoleh perusahaan asuransi syariah tersebut? Wallahua’lam. Tidak ada informasi pasti yang menyebutkan angkanya.

Permasalahan kedua adalah menyangkut surplus operasional atau kelebihan sisa dana premi setelah dikurangi ujrah dan pembayaran klaim. Terdapat kontroversi yang cukup menarik ketika seorang direktur perusahaan asuransi syariah di tahun 2005 mempermasalahkan penyimpangan praktek pengelolaan dana asuransi haji oleh sebuah perusahaan asuransi pemenang tender di kala itu. Beliau menyampaikan bahwa selain memperoleh ujrah, perusahaan asuransi tersebut masih juga mengambil sisa dana premi atau surplus operasional yang dalam hal ini berbagi (melakukan surplus sharing) dengan DAU (Dana Abadi Umat) Departemen Agama.

Menurut beliau, dana tersebut tidak selayaknya diambil oleh perusahaan asuransi namun harus dikembalikan kepada jamaah haji, karena uang itu adalah hak mereka. Pendapat ini kemudian diperkuat oleh salah satu pengurus DSN-MUI yang menyatakan bahwa dana tersebut harus dikembalikan kepada jamaah haji berdasarkan fatwa MUI. Sementara dari perusahaan asuransi pemenang tender menyatakan bahwa surplus sharing itu sudah sesuai dengan prinsip syariah dengan memberikan argumen bahwa berdasarkan kebiasaan yang berlaku di bisnis asuransi syariah, 40 persen dari dana digunakan untuk biaya operasional, 55 persen dibayarkan sebagai biaya klaim bagi jamaah yang terkena musibah, dan 5 persen sisanya diinvestasikan secara syariah. Hasil investasi tersebut yang kemudian di-share dengan Depag berdasarkan nisbah bagi hasil 70:30.

Menurut penulis, ”penyimpangan” seperti di atas selayaknya tidak terjadi apabila perusahaan asuransi mau melakukan prinsip kehati-hatian ketika mengatasnamakan bisnisnya dengan label syariah. Alasan yang disebutkan dengan membawa-bawa kebiasaan yang berlaku masih perlu dipertanyakan karena mendasarkan diri pada kebiasaan belum tentu sejalan dengan hukum agama. Patokan yang seharusnya digunakan adalah hukum syara yang dalam hal ini mengacu pada Fatwa DSN-MUI tentang Asuransi Haji, dimana sudah jelas dinyatakan bahwa surplus operasional adalah menjadi hak jamaah haji.

Tentang nasib surplus operasional apakah harus dikembalikan 100 persen kepada nasabah ataukah sebaiknya diserahkan kepada Depag melalui DAU? Pilihan pertama bisa menjadi alternatif terbaik karena pada dasarnya dana premi yang tersisa setelah dikurangi biaya operasional dan klaim adalah milik jamaah haji. Perusahaan asuransi syariah dalam hal ini hanya bertindak sebagai wakil (operator) dari jamaah haji sehingga tidak selayaknya perusahaan asuransi memperoleh bagian kecuali hanya sebagian kecil fee.

Untuk memperkuat hal ini, semestinya fatwa tersebut ditambahkan dengan akad Wakalah bil Ujrah, disamping akad tabarru yang sudah ada. Melalui akad Wakalah bil Ujrah, DSN-MUI dapat menetapkan berapa angka ujrah alias fee yang boleh diambil perusahaan asuransi sehingga titik abu-abu berupa prinsip adil dan wajar dapat dihilangkan. Melalui akad Wakalah bil Ujrah juga harus ditetapkan akan dikemanakan dana jamaah haji apabila terdapat surplus operasional, apakah harus dikembalikan kepada masing-masing jamaah ataukah dikumpulkan dalam fund khusus yang dapat dipakai untuk kemaslahatan ummat. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar