Senin, 09 Maret 2009

korupsi dalam perspektif islam

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia menurut lembaga survey internasional Political and Economic Risk Consultancy yang bermarkas di Hongkong merupakan negeri terkorup di Asia. Indonesia terkorup di antara 12 negara di Asia, diikuti India dan Vietnam. Thailand, malaysia, dan Cina berada pada posisi keempat. Sementara negara yang menduduki peringkat terendah tingkat korupsinya adalah Singapura, Jepang, Hongkong, Taiwan dan Korea Selatan. Pencitraan Indonesia sebagai negara paling korup berada pada nilai 9,25 derajat, sementara India 8,9; Vietman 8,67; Singapura 0,5 dan Jepang 3,5 derajat dengan dimulai dari 0 derajat sampai 10.
Hasil riset yang dilakukan oleh berbagai lembaga, juga menunjukkan bahwa tingkat korupsi di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam ini termasuk yang paling tinggi di dunia. Bahkan koran Singapura, The Straits Times, sekali waktu pernah menjuluki Indonesia sebagai the envelope country. Mantan ketua Bappenas, Kwik Kian Gie, menyebut lebih dari Rp.300 triliun dana dari penggelapan pajak, kebocoran APBN, maupun penggelapan hasil sumberdaya alam, menguap masuk ke kantong para koruptor. Di samping itu, korupsi yang biasanya diiringi dengan kolusi, juga membuat keputusan yang diambil oleh pejabat negara menjadi tidak optimal. Heboh privatisasi sejumlah BUMN, lahirnya perundang-undangan aneh semacam UU Energi, juga RUU SDA, impor gula dan beras dan sebagainya dituding banyak pihak sebagai kebijakan yang sangat kolutif karena di belakangnya ada motivasi korupsi.
Indonesia sebagai salah satu negara terkorup di dunia, pejabat dan birokrat di negara ini dicap sebagai tukang rampok, pemalak, pemeras, benalu, self seeking, dan rent seeker, khususnya di hadapan pengusaha baik kecil maupun besar, baik asing maupun pribumi. Ini berbeda dengan, konon, birokrat Jepang dan Korea Selatan yang membantu dan mendorong para pengusaha untuk melebarkan sayapnya, demi penciptaan lapangan kerja alias pemakmuran warga negara.
Korupsi semakin menambah kesenjangan akibat memburuknya distribusi kekayaan. Bila sekarang kesenjangan kaya dan miskin sudah sedemikian menganga, maka korupsi makin melebarkan kesenjangan itu karena uang terdistribusi secara tidak sehat atau dengan kata lain tidak mengikuti kaedah-kaedah ekonomi sebagaimana mestinya. Koruptor makin kaya, yang miskin semakin miskin. Akibat lainnya, karena uang seolah mudah dipeoleh, sikap konsumtif menjadi semakin merangsang, tidak ada dorongan kepada pola produktif, akhirnya timbul inefisiensi dalam pemanfaatan sumber daya ekonomi yang telah tersedia.
Korupsi juga dituding sebagai penyebab utama keterpurukan bangsa ini. Akibat perbuatan korup yang dilakukan segelintir orang maka kemudian seluruh bangsa ini harus menanggung akibatnya. Ironisnya kalau dulu korupsi hanya dilakukan oleh para pejabat dan hanya di tingkat pusat, sekarang hampir semua orang baik itu pejabat pusat maupun daerah, birokrat, pengusaha, bahkan rakyat biasa bisa melakukan korupsi. Hal ini bisa terjadi barangkali karena dahulu orang mengganggap bahwa yang bisa korupsi hanya orang-orang orde baru sehingga mumpung sekarang orde baru runtuh semua berlomba-lomba untuk ‘meniru’ perilaku korup yang dilakukan orang-orang Orde Baru. Alasan lain yang hampir sama barangkali seperti yang dipaparkan oleh Rieke Diyah Pitaloka dalam tesisnya bahwa kekerasan yang dilakukan masyarakat sipil bukan sesuatu yang otonom, tetapi ada disposisi antara aktor dan kekerasan itu sendiri. Artinya, antara si penguasa dan pelaku kekerasan itu ada timbal balik, contohnya adalah kasus korupsi. Jadi ada semacam perpindahan kekerasan dari negara kepada masyarakat. Perilaku korupsi yang dilakukan oleh hanya segelintir pejabat negara akhirnya ‘berpindah’ dilakukan oleh masyarakat biasa.
Yang lebih berbahaya lagi, korupsi ini tidak hanya dilakukan oleh per individu melainkan juga dilakukan secara bersama-sama tanpa rasa malu. Misalnya korupsi yang dilakukan seluruh atau sebagian besar anggota DPR/DPRD. Jadi korupsi dilakukan secara berjamaah. Yang lebih berbahaya lagi sebenarnya adalah korupsi sistemik yang telah merambah ke seluruh lapisan masyarakat dan sistem kemasyarakatan. Dalam segala proses kemasyarakatan, korupsi menjadi rutin dan telah diterima sebagai alat untuk melakukan transaksi sehari-hari. Selain itu, korupsi pada tahap ini sudah mempengaruhi perilaku lembaga dan individu pada semua tingkat sistem politik serta sosio-ekonomi. Bahkan, pada tingkat korupsi sistemik seperti ini, kejujuran menjadi irrasional untuk dilakukan.
Jika kenyataannya sudah sedemikian parah, maka tidak ada upaya lain yang harus dilakukan kecuali mengerahkan segala kemampuan dan segenap energi bangsa ini untuk bersama-sama bahu membahu memberantas penyakit yang sudah sangat kronis ini. sudah saatnya bangsa ini mengibarkan bendera perang terhadap tindak korupsi ini.
Korupsi bisa terjadi apabila karena faktor-faktor sebagai berikut:
a. Ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan dalam posisi-posisi kunci yang mampu memberikan ilham dan mempengaruhi tingkah laku yang menjinakkan korupsi.
b. Kelemahan pengajaran-pengajaran agama dan etika.
c. Kolonialisme.
d. Kurangnya pendidikan.
e. Kemiskinan.
f. Tiadanya hukuman yang keras.
g. Kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku anti korupsi.
h. Struktur pemerintahan.
i. Perubahan radikal.
j. Keadaan masyarakat.
Sementara Soejono memandang bahwa faktor terjadinya korupsi, khususnya di Indonesia, adalah adanya perkembangan dan perbuatan pembangunan khususnya di bidang ekonomi dan keuangan yang telah berjalan dengan cepat, serta banyak menimbulkan berbagai perubahan dan peningkatan kesejahteraan. Di samping itu, kebijakan-kebijakan pemerintah, dalam upaya mendorong ekspor, peningkatan investasi melalui fasilitas-fasilitas penanaman modal maupun kebijaksanaan dalam pemberian kelonggaran, kemudahan dalam bidang perbankan, sering menjadi sasaran dan faktor penyebab terjadinya korupsi.
Sedangkan faktor yang menyebabkan merajalelanya korupsi di negeri ini menurut Moh. Mahfud MD adalah adanya kenyataan bahwa birokrasi dan pejabat-pejabat politik masih banyak didominasi oleh orang-orang lama. Lebih lanjut menurutnya orang-orang yang pada masa Orde Baru ikut melakukan korupsi masih banyak yang aktif di dalam proses politik dan pemerintahan. Upaya hukum untuk membersihkan orang-orang korup itu juga gagal karena para penegak hukumnya juga seharusnya adalah orang-orang yang harus dibersihkan. Faktor lainnya adalah hukum yang dibuat tidak benar-benar untuk kesejahteraan masyarakat (Rule of Law), tetapi justru hukum dijadikan alat untuk mengabdi kepada kekuasaan atau kepada orang-orang yang memiliki akses pada kekuasaan dan para pemilik modal (Rule by Law). Sebaliknya masyarakat kecil tidak bisa merasakan keadilan hukum. Hukum menampakkan ketegasannya hanya terhadap orang-orang kecil, lemah, dan tidak punya akses, sementara jika berhadapan dengan orang-orang ‘kuat’, memiliki akses kekuasaan, memiliki modal, hukum menjadi lunak dan bersahabat. Sehingga sering terdengar ucapan, seorang pencuri ayam ditangkap, disiksa dan akhirnya dihukum penjara sementara para pejabat korup yang berdasi tidak tersentuh oleh hukum (untouchable)
Namun demikian sebenarnya usaha-usaha pemberantasan korupsi di Indonesia sudah banyak dilakukan, tetapi hasilnya kurang begitu nampak. Walaupun begitu tidak boleh ada kata menyerah untuk memberantas penyakit ini. Penulis melihat karena mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim penting dan logis kiranya untuk meneliti postulat hukum Islam kaitannya dengan korupsi dan bagaimana perspektif dan kontribusinya terutama terhadap kasus korupsi yang ada di Indonesia.
Penulis sendiri berkeyakinan bahwa Islam datang untuk membebaskan dan memerangi sistem ketidakadilan bukan malah untuk melegalkan praktik-praktik yang melahirkan eksploitasi dan ketidakadilan. Tindak korupsi tentu termasuk hal yang harus diperangi Islam karena dapat menimbulkan masalah besar. Dengan kata lain, Islam harus ikut pula bertanggungjawab memikirkan dan memberikan solusi terhadap prilaku korupsi yang sudah menjadi epidemis ini. Tentunya Islam tidak bisa berbicara sendiri, harus ada usaha-usaha untuk menyuarakan konsep-konsep Islam, salah satunya dengan membongkar dogma hukum Islam.
Sejauh pengetahuan penulis, kata korupsi secara literer memang tidak ditemukan dalam khasanah hukum Islam, tetapi substansi dan persamaannya bisa dicari dan ditelusuri dalam hukum Islam. Analogi tindakan korupsi bisa ke arah Ghulul, sariqoh, pengkhianatan dan lain-lain, tetapi terma-terma tersebut masih perlu dikaji lebih lanjut. Terlebih lagi kalau menelusuri konsep hukum Islam untuk ikut memberantas tindakan korupsi.
Maka pada titik inilah menurut penulis penelitian ini penting untuk dilakukan tidak saja untuk mengklarifikasi kegundahan-kegundahan sebagaimana yang dirasakan penulis di atas tetapi lebih dari itu diharapkan bisa memberikan jalan keluar terhadap mewabahnya tindakan korup ini dan bisa sama-sama ikut serta menegakkan supremasi hukum di negeri berpenduduk Muslim terbesar di dunia ini.
B. Pokok Masalah
Penelitian ini memfokuskan pada permasalahan korupsi dan pemberantasannya di Indonesia dalam perspektif hukum Islam. Pola pemberantasan korupsi yang selama ini dilakukan oleh pemerintah belum terasa membawa hasil maksimal, maka kami berinisiatif sebagai bagian dari warga bangsa ini untuk ikut serta memikirkan kasus korupsi dan pemberantasannya ini dalam perspektif hukum Islam. Dalam penelitian ini penyusun akan memaparkan hal-hal sebagai berikut berikut:
1. Bagaimanakah prespektif hukum Islam mengenai tindak korupsi di Indonesia?
2. Bagaimana kontribusi hukum Islam untuk memberantas korupsi di Indonesia?
C. Tujuan dan Kegunaan
- Tujuan
1. Untuk mendeskripsikan korupsi dan pemberantasannya di Indonesia.
2. Untuk mengetahui pandangan hukum Islam tentang korupsi dan cara pemberantasannya.
- Kegunaan
1. Hasil penelitian ini diharapkan bisa memberikan kontribusi positif terhadap upaya-upaya pemberantasan korupsi yang sudah akut di Indonesia.
2. Sebagai sumbangan dalam memperkaya khazanah penelitian tentang korupsi terutama yang terjadi di Indonesia
D. Tela’ah Pustaka
Beberapa karya mengenai Korupsi yang sudah pernah ditulis antara lain buku berjudul Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya karya Andi Hamzah . Buku ini membahas tentang korupsi yang terjadi di Indonesia mulai dari sejarahnya, sebab-sebab, akibat sampai peraturan dan institusi pemberantasannya.
Kemudian karya S.H. Alatas yang berjudul Sosiologi Korupsi Sebuah Penjelajahan Dengan Data Kontemporer . Buku ini merupakan buku saku mengenai korupsi, dibahas di dalamnya tentang definisi korupsi, fungsi, sebab-sebab, dan cara pencegahannya. Buku lainnya adalah Controlling Corruption buah karya Robert Klitgaard yang dialihbahasakan oleh Hermoyo dengan judul Membasmi Korupsi . Buku ini secara komprehensif menjelaskan tentang korupsi mulai dari sasaran, pengertian, penyebab sampai pada upaya-upaya atau kebijakan pemberantasannya. Hanya saja buku ini tidak secara khusus membahas korupsi di Indonesia, meski demikian buku ini tetap penting untuk dibaca.
Kemudian buku karangan Lilik Mulyadi, SH. Tindak Pidana Korupsi. Di dalamnya menjelaskan tindak pidana korupsi sebagai salah satu bagian dari hukum pidana khusus, maka tindak pidana korupsi mempunyai kekhususan tertentu, ditinjau dari aspek hukum acara dan hukum materialnya .
Kemudian literatur keislaman yang berkaitan dengan masalah korupsi adalah buku yang berjudul Al-Halal wa al-Haram Fi al-Islam tulisan Dr. Muhammad Yusuf al-Qardawi. Dalam sub bab hubungan masyarakat, pada bagian hurmah al-amwal (melindungi harta benda) menekankan bahwa Islam membenarkan hak milik pribadi, maka Islam akan melindungi hak milik tersebut dengan undang-undang .
Adapun yang berbicara tentang suap dijelaskan di dalam buku at-Ta’zir fi Asy-Syari’ah Al-Islamiyah karya Abd Al-Azis Amir. Suap dikategorikan sebagai salah satu bentuk jarimah ta’zir. Dalam buku tersebut hanya mencontohkan kasus penyuapan terhadap hakim yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana supaya hukumannya diringankan.
Selanjutnya al-Mawardi dalam al-Ahkam as-Sultaniyah menyebutkan bahwa perbuatan tindak pidana yang menurut ketentuan-ketentuan syara’ adanya larangan yang diancam dengan hukuman had dan ta’zir, dan berbuat atau tidak berbuat baru dianggap sebagai tindak pidana apabila diancamkan hukuman terhadapnya.
Sebuah skripsi yang ditulis Nurul Khoiriyah Darmawati , berjudul Tinjauan Hukum Islam Terhadap Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menyimpulkan bahwa korupsi digolongkan ke dalam jarimah ta’zir yang macam dan batasan hukumnya diserahkan kepada penguasa selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syari’ah serta dapat mewujudkan al maslahah al ‘ammah. Di samping itu, UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah sesuai dengan prinsip-prinsip hukum Islam.
Kemudian ada buku yang ‘sepertinya’ berasal dari kumpulan ceramah berjudul Korupsi Dalam Perspektif Agama-Agama diterbitkan oleh LP3 UMY . Buku yang merupakan kumpulan tulisan tersebut menjelaskan tentang korupsi dari sudut pandang agama-agama, tetapi lebih menekankan kepada aspek moralnya saja. Dengan kata lain, pemberdayaan agama untuk menjalankan fungsinya sebagai moral force dalam rangka pemberantasan korupsi.
E. Kerangka Teori
Tindak korupsi dari sudut pandang apapun jelas tidak bisa dibenarkan. Oleh karena itu, tindakan korupsi adalah perbuatan salah. Dalam hukum Islam, perbuatan dosa atau perbuatah salah disebut jinayah atau jarimah . Abd al-Qodir Awdah mendefinisikan Jinayah: “Perbuatan yang dilarang oleh syara’ baik perbuatan itu mengenai jiwa, harta benda, atau lainnya” . Jadi jinayah merupakan tindakan yang dilarang oleh syara’ karena bisa menimbulkan bahaya bagi jiwa, harta, keturunan, dan akal. Sementara mengenai pengertian jarimah, al-Mawardi mendefinisikannya: “Larangan-larangan syara’ yang diancam oleh Allah dengan hukuman had atau ta’zir” .
Jinayah atau jarimah dalam ketentuan hukum Islam memiliki sanksi yang berupa had dan ta’zir. Perbedaannya had ketentuan sanksinya sudah dipastikan oleh nash sementara ta’zir pelaksanaan hukumannya diserahkan sepenuhnya kepada penguasa.
Menurut Makhrus Munajat , apa yang menyebabkan suatu perbuatan dianggap sebagai suatu tindak kejahatan tidak lain adalah karena perbuatan itu sangat merugikan kepada tatanan kemasyarakatan, atau kepercayaan-kepercayaan atau harta benda, nama baik, kehormatan, jiwa dan lain sebagainya, yang kesemuanya itu menurut hukum syara’ harus dipelihara dan dihormati serta dilindungi. Suatu sanksi diterapkan kepada pelanggar syara’ dengan tujuan agar seseorang tidak mudah berbuat jarimah. Korupsi adalah perbuatan yang sangat merugikan baik kepada individu, masyarakat, dan negara. Bahkan dampak yang ditimbulkan dari perilaku korupsi begitu luas terhadap moral masyarakat (al akhlak al karimah), kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh sebab itu, pantas kalau korupsi dalam hukum positif dimasukkan sebagai ‘extraordinary crime’, kejahatan luar biasa.
Meskipun tindak korupsi secara jelas merupakan perbuatan salah dan termasuk kategori jinayah atau jarimah namun secara jelas syara’ tidak menyebutkan kata ‘korupsi’ dalam nash-nash baik al-Qur’an maupun hadis. Oleh karena itu, maka dibutuhkan ‘ijtihad’ misalnya dengan menggunakan metode qiyas (analogi) untuk menemukan persamaan korupsi dalam literatur hukum Islam, melihat unsur-unsur umum-khusus jarimahnya , dan menentukan sanksinya.
Menurut teori konvensional, Salah satu cara yang paling baik untuk memerangi kejahatan semisal korupsi adalah dengan menghukum para penjahat atau pelaku dengan hukuman yang seberat-beratnya . Pemberantasan korupsi di RRC China misalnya dipandang berhasil karena para koruptor dijatuhi hukuman mati. Hanya persoalannya apakah penerapan hukuman yang seberat-beratnya tersebut misalnya sampai hukuman mati tidak dianggap melanggar HAM. Hal ini lagi-lagi akan menjadi perdebatan internasional dan menjadikan ruang yang sangat dilematis dalam upaya pemberantsan korupsi. Pada satu sisi ingin berhasil memberantas korupsi, tapi pada sisi yang lain khawatir dianggap melanggar HAM. Namun demikian, pemberian hukuman yang seberat-beratnya bahkan sampai hukuman mati terhadap para pelaku korupsi bisa menjadi pertimbangan yang sangat logis di tengah kebuntuan jalan dalam memberantas penyakit tersebut, sehingga membuat para pelakunya jera dan tidak akan mengulangi lagi perbuatannya serta menjadi peringatan dini yang sangat serius bagi orang lain yang mungkin akan mencobanya.
F. Metode Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan penelitian pustaka (library research) yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji atau menelaah sumber-sumber kepustakaan khususnya mengenai korupsi dan pemberantasannya di Indonesia dalam prespektif hukum Islam.
Penelitian ini menurut pengertian Pollack termasuk legal research yang bertujuan hendak menguji apakah suatu postulat normatif tertentu (postulat hukum Islam) memang dapat atau tidak dapat dipakai untuk memecahkan suatu masalah hukum tertentu in concreto dalam hal ini kasus korupsi dan pemberantasannya di Indonesia.
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif-analitik yaitu menggambarkan dan menganalisa secara cermat tentang korupsi dan pemberantasannya di Indonesia dalam prespektif hukum Islam.
3. Tehnik Pengumpulan Data
Tehnik pengumpulan data dilakukan dengan cara literer yaitu dengan menela’ah dan meneliti buku-buku yang memuat tentang wacana korupsi dan pemberantasannya di Indonesia dalam prespektif hukum Islam.
4. Metode Analisis Data
Setelah data yang dibutuhkan terkumpul, kemudian dilakukan analisa data dengan cara:
1) Deduktif: yaitu kerangka berfikir dengan berpijak dari konsep umum tentang korupsi dan pemberantasannya lalu diformulasikan dalam bentuk kesimpulan-kesimpulan yang bersifat khusus, parsial dan kasuistik yakni kasus korupsi dan pemberantasannya di Indonesia.
2) Analitis: yaitu pertama, menganalisa data-data mengenai korupsi dan pemberantasannya di Indonesia yang terkumpul sebagai dasar dalam penarikan kesimpulan. Kedua, menganalisa seperangkat postulat hukum Islam yang bisa dinisbatkan dengan korupsi untuk kemudian dikontekstualisasikan dengan kasus korupsi di Indonesia.
5. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam meneliti korupsi dan pemberantasannya di Indonesia dalam perspektif hukum Islam adalah pendekatan normatif. Yaitu pendekatan yang lebih menekankan kepada ketentuan-ketentuan hukum Islam yang telah ada baik secara tekstual maupun kontekstual.

Jumat, 06 Maret 2009

Mencermati Fatwa Asuransi Haji

jamaah haji asal Indonesia dari berbagai provinsi sudah tiba kembali dari melaksanakan ibadah haji di tanah suci. Sebagaimana di tahun-tahun sebelumnya, jamaah haji asal Indonesia tersebut diasuransikan oleh Depag melalui tender asuransi haji. Berdasarkan Fatwa DSN-MUI No.39/DSN-MUI/X/2002 tentang Asuransi Haji, telah ditetapkan bahwa akad yang dipakai dalam pengelolaan dana premi jamaah haji adalah akad tabarru (hibah), yang bertujuan untuk menolong sesama jamaah haji yang terkena musibah. Akad dilakukan antara jamaah haji sebagai pemberi tabarru dengan perusahaan asuransi syariah yang bertindak sebagai pengelola dana hibah. Pemegang polis induk dari seluruh jamaah haji adalah menteri agama yang bertanggung jawab atas pelaksanaan ibadah haji sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Isi dari fatwa tersebut yang menurut penulis perlu di-review menyangkut dua hal. Pertama, besarnya ujrah atau fee yang tidak disebutkan secara jelas angkanya. Dalam ketentuan khusus pada fatwa di atas hanya disebutkan bahwa asuransi syariah berhak memperoleh ujrah atas pengelolaan dana tabarru yang besarnya ditentukan sesuai dengan prinsip adil dan wajar. Namun adil dan wajar menjadi sulit dicari patokannya. Kedua, menyangkut surplus underwriting atau surplus operasional. Poin-poin inilah yang perlu ditinjau kembali agar tidak muncul perbedaan pendapat di kalangan praktisi asuransi syariah.

Pertama, soal besarnya ujrah yang hanya berpatokan pada prinsip adil dan wajar. Keadilan dan kewajaran ini tentu saja menjadi relatif apalagi karena asuransi haji ini (masih) dikelola oleh perusahaan asuransi yang bersifat komersial melalui proses tender. Sehingga peserta tender tentu saja memperhitungkan komponen profit di dalam penawarannya. Apakah jika kemudian perusahaan asuransi menetapkan ujrah sebesar 40 persen dari premi per nasabah atau dari total premi terkumpul telah dianggap mengikuti prinsip adil dan wajar?
Bisa jadi dari kacamata jamaah haji, angka 40 persen fee atau ujrah itu terlalu besar sehingga bisa saja dari aspek keridhaan, transaksi asuransi ini pun tidak memenuhi syarat saling rela di antara kalian (an taradhin minkum). Oleh karena itu fatwa tentang asuransi haji semestinya memasukkan angka persentase ujrah ini secara jelas sehingga perusahaan asuransi syariah sebagai pengelola dana premi jamaah haji tidak memberlakukan pemotongan premi ini sesuai keinginan sendiri.

Sebagai data, pada keberangkatan haji tahun 2008 telah ditetapkan PT Asuransi Syariah Mubarakah sebagai pemenang tender asuransi haji, dimana per jamaah haji dipungut premi sebesar Rp100 ribu, dengan manfaat meninggal dunia biasa Rp28,5 juta dan manfaat meninggal dunia karena kecelakaan sebesar Rp57 juta (dua kali manfaat natural death). Lalu berapa ujrah yang berhak diperoleh perusahaan asuransi syariah tersebut? Wallahua’lam. Tidak ada informasi pasti yang menyebutkan angkanya.

Permasalahan kedua adalah menyangkut surplus operasional atau kelebihan sisa dana premi setelah dikurangi ujrah dan pembayaran klaim. Terdapat kontroversi yang cukup menarik ketika seorang direktur perusahaan asuransi syariah di tahun 2005 mempermasalahkan penyimpangan praktek pengelolaan dana asuransi haji oleh sebuah perusahaan asuransi pemenang tender di kala itu. Beliau menyampaikan bahwa selain memperoleh ujrah, perusahaan asuransi tersebut masih juga mengambil sisa dana premi atau surplus operasional yang dalam hal ini berbagi (melakukan surplus sharing) dengan DAU (Dana Abadi Umat) Departemen Agama.

Menurut beliau, dana tersebut tidak selayaknya diambil oleh perusahaan asuransi namun harus dikembalikan kepada jamaah haji, karena uang itu adalah hak mereka. Pendapat ini kemudian diperkuat oleh salah satu pengurus DSN-MUI yang menyatakan bahwa dana tersebut harus dikembalikan kepada jamaah haji berdasarkan fatwa MUI. Sementara dari perusahaan asuransi pemenang tender menyatakan bahwa surplus sharing itu sudah sesuai dengan prinsip syariah dengan memberikan argumen bahwa berdasarkan kebiasaan yang berlaku di bisnis asuransi syariah, 40 persen dari dana digunakan untuk biaya operasional, 55 persen dibayarkan sebagai biaya klaim bagi jamaah yang terkena musibah, dan 5 persen sisanya diinvestasikan secara syariah. Hasil investasi tersebut yang kemudian di-share dengan Depag berdasarkan nisbah bagi hasil 70:30.

Menurut penulis, ”penyimpangan” seperti di atas selayaknya tidak terjadi apabila perusahaan asuransi mau melakukan prinsip kehati-hatian ketika mengatasnamakan bisnisnya dengan label syariah. Alasan yang disebutkan dengan membawa-bawa kebiasaan yang berlaku masih perlu dipertanyakan karena mendasarkan diri pada kebiasaan belum tentu sejalan dengan hukum agama. Patokan yang seharusnya digunakan adalah hukum syara yang dalam hal ini mengacu pada Fatwa DSN-MUI tentang Asuransi Haji, dimana sudah jelas dinyatakan bahwa surplus operasional adalah menjadi hak jamaah haji.

Tentang nasib surplus operasional apakah harus dikembalikan 100 persen kepada nasabah ataukah sebaiknya diserahkan kepada Depag melalui DAU? Pilihan pertama bisa menjadi alternatif terbaik karena pada dasarnya dana premi yang tersisa setelah dikurangi biaya operasional dan klaim adalah milik jamaah haji. Perusahaan asuransi syariah dalam hal ini hanya bertindak sebagai wakil (operator) dari jamaah haji sehingga tidak selayaknya perusahaan asuransi memperoleh bagian kecuali hanya sebagian kecil fee.

Untuk memperkuat hal ini, semestinya fatwa tersebut ditambahkan dengan akad Wakalah bil Ujrah, disamping akad tabarru yang sudah ada. Melalui akad Wakalah bil Ujrah, DSN-MUI dapat menetapkan berapa angka ujrah alias fee yang boleh diambil perusahaan asuransi sehingga titik abu-abu berupa prinsip adil dan wajar dapat dihilangkan. Melalui akad Wakalah bil Ujrah juga harus ditetapkan akan dikemanakan dana jamaah haji apabila terdapat surplus operasional, apakah harus dikembalikan kepada masing-masing jamaah ataukah dikumpulkan dalam fund khusus yang dapat dipakai untuk kemaslahatan ummat. ***

MENGENAL KONSEP ASURANSI SYARIAH

Sebagian kalangan Islam beranggapan bahwa asuransi sama dengan menentang qodlo dan qadar atau bertentangan dengan takdir. Pada dasarnya Islam mengakui bahwa kecelakaan, kemalangan dan kematian merupakan takdir Allah. Hal ini tidak dapat ditolak. Hanya saja kita sebagai manusia juga diperintahkan untuk membuat perencanaan untuk menghadapi masa depan. Allah berfirman dalam surat Al Hasyr: 18, yang artinya “Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuat untuk hari esok (masa depan) dan bertaqwalah kamu kepada Allah. Sesunguhnya Allah Maha mengetahui apa yang engkau kerjakan”. Jelas sekali dalam ayat ini kita diperintahkan untuk merencanakan apa yang akan kita perbuat untuk masa depan.

Dalam Al Qur’an surat Yusuf :43-49, Allah menggambarkan contoh usaha manusia membentuk sistem proteksi menghadapi kemungkinan yang buruk di masa depan. Secara ringkas, ayat ini bercerita tentang pertanyaan raja Mesir tentang mimpinya kepada Nabi Yusuf. Dimana raja Mesir bermimpi melihat tujuh ekor sapi betina yang gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi yang kurus, dan dia juga melihat tujuh tangkai gandum yang hijau berbuah serta tujuh tangkai yang merah mengering tidak berbuah.

Nabi Yusuf sebagaimana diceritakan dalam surat Yusuf, dalam hal ini menjawab supaya raja dan rakyatnya bertanam tujuh tahun dan dari hasilnya hendaklah disimpan sebagian. Kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang disimpan untuk menghadapi masa sulit tesebut, kecuali sedikit dari apa yang disimpan.

Sangat jelas dalam ayat ini kita dianjurkan untuk berusaha menjaga kelangsungan kehidupan dengan meproteksi kemungkinan terjadinya kondisi yang buruk. Dan sangat jelas ayat diatas menyatakan bahwa berasurnasi tidak bertentangan dengan takdir, bahkan Allah menganjurkan adanya upaya-upaya menuju kepada perencanaan masa depan dengan sisitem proteksi yang dikenal dalam mekanisme asuransi.

Jadi, jika sistem proteksi atau asuransi dibenarkan, pertanyaan selanjutnya adalah: apakah asuransi yang kita kenal sekarang (asuransi konvensional) telah memenuhi syarat-syarat lain dalam konsep muamalat secara Islami. Dalam mekanisme asuransi konvensional terutama asuransi jiwa, paling tidak ada tiga hal yang masih diharamkan oleh para ulama, yaitu: adanya unsur gharar (ketidak jelasan dana), unsur maisir (judi/ gambling) dan riba (bunga). Ketiga hal ini akan dijelaskan dalam penjelasaan rinci mengenai perbedaan antara asuransi konvensional dan syariah.

Asuransi jiwa syariah dan asuransi jiwa konvensional mempunyai tujuan sama yaitu pengelolaan atau penanggulangan risiko. Perbedaan mendasar antara keduanya adalah cara pengelolaannya pengelolaan risiko asuransi konvensional berupa transfer risiko dari para peserta kepada perusahaan asuransi (risk transfer) sedangkan asuransi jiwa syariah menganut azas tolong menolong dengan membagi risiko diantara peserta asuransi jiwa (risk sharing).

Selain perbedaan cara pengelolaan risiko, ada perbedaan cara mengelola unsur tabungan produk asuransi. Pengelolaan dana pada asuransi jiwa syariah menganut investasi syariah dan terbebas dari unsur ribawi.

Secara rinci perbedaan antara asuransi jiwa syariah dan asuransi jiwa konvensional dapat dilihat pada uraian berikut :

Kontrak atau Akad
Kejelasan kontrak atau akad dalam praktik muamalah menjadi prinsip karena akan menentukan sah atau tidaknya secara syariah. Demikian pula dengan kontrak antara peserta dengan perusahaan asuransi. Asuransi konvensional menerapkan kontrak yang dalam syariah disebut kontrak jual beli (tabaduli).

Dalam kontrak ini harus memenuhi syarat-syarat kontrak jual-beli. Ketidakjelasaan persoalan besarnya premi yang harus dibayarkan karena bergantung terhadap usia peserta yang mana hanya Allah yang tau kapan kita meninggal mengakibatkan asuransi konvensional mengandung apa yang disebut gharar —ketidakjelasaan pada kontrak sehingga mengakibatkan akad pertukaran harta benda dalam asuransi konvensional dalam praktiknya cacat secara hukum. Sehingga dalam asuransi jiwa syariah kontrak yang digunakan bukan kontrak jual beli melainkan kontrak tolong menolong (takafuli). Jadi asuransi jiwa syariah menggunakan apa yang disebut sebagai kontrak tabarru yang dapat diartikan sebagai derma atau sumbangan. Kontrak ini adalah alternatif uang sah dan dibenarkan dalam melepaskan diri dari praktik yang diharamkan pada asuransi konvensional.

Tujuan dari dana tabarru’ ini adalah memberikan dana kebajikan dengan niat ikhlas untuk tujuan saling membantu satu dengan yang lain sesama peserta asuransi syariah apabila diantaranya ada yang terkena musibah. Oleh karenanya dana tabarru’ disimpan dalam satu rekening khsusus, dimana bila terjadi risiko, dana klaim yang diberikan adalah dari rekening dana tabarru’ yang sudah diniatkan oleh semua peserta untuk kepentingan tolong menolong.

Kontrak Al-Mudharabah
Penjelasan di atas, mengenai kontrak tabarru’ merupakan hibah yang dialokasikan bila terjadi musibah. Sedangkan unsur di dalam asuransi jiwa bisa juga berupa tabungan. Dalam asuransi jiwa syariah, tabungan atau investasi harus memenuhi syariah.

Dalam hal ini, pola investasi bagi hasil adalah cirinya dimana perusahaan asuransi hanyalah pengelola dana yang terkumpul dari para peserta. Secara teknis, al-mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama menyediakan seluruh (100 persen) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola.
Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi, ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian tersebut bukan akibat kelalaian di pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalian si pengelola, maka pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.

Kontrak bagi hasil disepkati didepan sehingga bila terjadi keuntungan maka pembagiannya akan mengikuti kontrak bagi hasil tersebut. Misalkan kontrak bagi hasilnya adalah 60:40, dimana peserta mendapatkan 60 persen dari keuntungan sedang perusahaan asuransi mendapat 40 persen dari keuntungan.

Dalam kaitannya dengan investasi, yang merupakan salah satu unsur dalam premi asuransi, harus memenuhi syariah Islam dimana tidak mengenal apa yang biasa disebut riba. Semua asuransi konvensional menginvestasikan dananya dengan mekanisme bunga.

Dengan demikian asuransi konvensional susah untuk menghindari riba. Sedangkan asuransi syariah daolam berinvestasi harus menyimpan dananya ke berbagai investasi berdasarkan syariah Islam dengan sistem al-mudharabah.

Tidak Ada Dana Hangus
Pada asuransi konvensional dikenal dana hangus, dimana peserta tidak dapat melanjutkan pembayaran premi dan ingin mengundurkan diri sebelum masa jatuh tempo. Begitu pula dengan asuransi jiwa konvensional non-saving (tidak mengandung unsur tabungan) atau asuransi kerugian, jika habis msa kontrak dan tidak terjadi klaim, maka premi asuransi yang sudah dibayarkan hangus atau menjadi keuntungan perusahaan asuransi.

Dalam konsep asuransi syariah, mekanismenya tidak mengenal dana hangus. Peserta yang baru masuk sekalipun karena satu dan lain hal ingin mengundurkan diri, maka dana atau premi yang sebelumnya sudah dibayarkan dapat diambil kembali kecuali sebagian kecil saja yang sudah diniatkan untuk dana tabarru’ yang tidak dapat diambil.
Begitu pula dengan asuransi syariah umum, jika habis masa kontrak dan tidak terjadi klaim, maka pihak perusahaan mengembalikan sebagian dari premi tersebut dengan pola bagi hasil, misalkan 60:40 atau 70:30 sesuai dengan kesepakatan kontrak di muka. Dalam hal ini maka sangat mungkin premi yang dibayarkan di awal tahun dapat diambil kembali dan jumlahnya sangat bergantung dengan tingkat investasi pada tahun tersebut.

Manfaat Asuransi Syariah
Asuransi syariah dapat menjadi alternatif pilihan proteksi bagi pemeluk agama Islam yang menginginkan produk yang sesuai dengan hukum Islam. Produk ini juga bisa menjadi pilihan bagi pemeluk agama lain yang memandang konsep syariah adil bagi mereka. Syariah adalah sebuah prinsip atau sistem yang ber-sifat universal dimana dapat dimanfaatkan oleh siapapun juga yang berminat.

Demikianlah sekilas ulasan mengenai asuransi syariah. Semoga ulasan ini menambah wawasan dan pengetahuan anda

ANALISIS HUKUM ASURANSI SYARI’AH

Pendahuluan
Kompleksitas kehidupan selalu saja membawa manusia kedalam kejumudan yang berkepanjangan. Salah satunya adalah rasa kekawatiran yang muncul dalam diri manusia, baik kekawatiran atas keselamatan pribadi maupun atas harta benda yang dimilikinya. Fenomena tersebut selalu saja muncul dan mengepung manusia dalam manifestasi bahaya-bahaya yang memancing rasa takut yang penuh dengan histeria. Permasalahan tersebut telah disinggung (dijelaskan) dalam al-Qur’an, ketika Adam dan Hawa mendapatkan pesan Tuhan agar menjauhi pohon terlarang (khuldi). Allah berfirman yang Artinya:
"Maka kami berkata: “Hai Adam, sesungguhnya ini (iblis) adalah musuh bagimu dan bagi istrimu, maka sekali-kali janganlah sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang menyebabkan kamu menjadi celaka. Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan didalamnya dan tidak akan telanjang. Dan sesungguhnya kamu tidak akan meresa dahaga dan tidak (pula) akan ditimpa panas ,matahari didalamnya.(Qs: Thaha, (20):117-119 )”.

Deskripsi ayat tersebut, menganalogikan bahwa kehidupan dalam surga semuanya terjamin. Tidak ada ketakutan, kekhawatiran, kecemasan, dari ancaman kelaparan, dahaga dan ketelanjangan, maupun ancaman terhadap jiwa, akidah, kehormatan, kekayaan, kebebasan, kezaliman, permusuhan, dan pemaksaan yang biasa terjadi dalam kehidupan dunia.
Pada subtansinya, kehidupan manusia tidaklah cukup semata dengan ihtiyar fisik untuk memenuhi kebutuhan jasmani di dalam berbisnis, dalam rangka penjaminan atas keberlangsungan hidup. Tetapi secara niscaya juga harus memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang bersifat rohani, agar tidak terjadi dis-equilibrium dalam menuju proses kehidupan, yaitu dengan upaya mengintegrasikan kedua aspek tersebut, yang berjalan secara sinergis, dengan berpegang (disandarkan) kepada nilai-nilai normatifitas Agama (syari’at).
Pengetrapan prinsip equilibrium dalam Islam sangat dianjurkan, dipahami sebagai keseimbangan hidup di dunia dan di akhirat yang harus diusung oleh pembisnis muslim dalam kaitan ini (Asuransi). Maka konsep keseimbangan ini, mengajak kepada para pengusaha muslim untuk dapat merealisasikan tindakan-tindakan praksis (dalam bisnis) yang dapat menempatkan diri seorang muslim dan orang lain pada kesejahteraan hidup di dunia dan keselamatan di akhirat. Yakni berlaku adil dan tidak menzalimi (eksploitasi) orang lain atau kepada hal-hal lain yang mengandung unsur kemudlaratan bagi diri sendiri dan orang lain dalam praktek berbisnis.
Disisi lain, dalam berbisnis mengharuskan adanya etika bisnis secara Islam yang diletakkan di atas nilai-nilai normatifitas agama. Etika adalah nilai-nilai moral ideal yang harus diterapkan dalam bisnis Islam sebagai identitas bisnis yang berbasiskan Islam. Bisnis secara Islam adalah cara berbisnis yang bersih dari tindakan-tindakan manipulasi, eksploitasi, dan dari barang-barang ribawi. Tetapi yang paling prinsip dalam ciri berbisnis secara islami adalah dilalkukan atas dasar sukarela (Antaradhin) dan saling menerima (antaqabudhin) antara satu sama lain. Sehingga dari masing-masing yang melakukan transaksi bisnis menemukan utilitasnya secara optimal.

Permasalahanya adalah; bagaimana prinsip-prinsip tersebut dapat termanifestaikan kedalam kehidupan riil yang kompleks ini sebagai solusi alternatif dan dapat mengikis carut-marutnya persoalan kehidupan. Dalam pada ini “mengenai asuransi”, merupakan persoalan baru bagi Islam, dan bersifat ijtihadi, yang harus digarap oleh para intelektual muslim untuk dapat mengetahui status hukum, prosedur operasional, dan prinsip dasarnya secara Islam, serta dapat diterapkan pada halayak masyarakat secara totalitas. Maka hematnya, penulisan ini, secara fokus mengagendakan kepada persoalan-persoalan tersebut secara optimal sebagai obyek kajian.

B. Sejarah dan Perkembangan Asuransi
Secara historis, kajian tentang ‘pertanggungan’ telah dikenal sejak zaman dahulu dan telah dipraktekkan di tengah-tengah masyarakat, walaupun dalam bentuk yang sangat sederhana. ini dikarenakan nilai dasar penopang dari konsep “pertanggungan” yang terwujud dalam bentuk tolong-menolong sudah ada bersama dengan adanya manusia.
Konsep asuransi pada dasarnya sudah dikenal sejak zaman sebelum Masehi dimana manusia pada masa itu mengalami berbagai kesulitan dan ancaman, antara lain kekurangan bahan makanan. Salah satu cerita mengenai kekurangan bahan makanan terjadi pada zaman Mesir Kuno selama raja Qifthir berkuasa, yaitu pada masa Nabi yusuf, yang menggambarkan keadaan negara dalam himpitan paceklik yang akan dihadapinya.
Praktek asuransi secara eksplisit telah dilakukan pada zaman Nabi, yaitu apa yang disebut dengan aqilah. Aqilah adalah kebiasaan orang arab zaman dahulu bahwa jika ada salah satu anggota suku yang terbunuh oleh anggota suku lain, pewaris korban akan membayar sejumlah uang darah (diyat) sebagai kompensasi oleh saudara terdekat dari pembunuh tersebut yang disebut aqilah. Harus membayar uang darah atas nama pembunuh.
Maka, tidak diragukan lagi bahwa konsep tentang kerjasama itu, dahulu muncul berasamaan dengan manusia dan kebutuhannya akan bantuan dan saling kerjasama dengan yang lain. Tetapi asuransi dilihat dari sistem yang teratur, dan terlembaga baru muncul pada abad 14 M. yaitu asuransi kelautan yang menacakup asuransi jiwa, yang mana bahaya laut di “injlitara” pada tahun 1300 M. sangat membahayakan. Hal tersebut juga dialami oleh asuransi kelautan lain, yang merupakan pengalaman bersejarah, pada tahun 1347 M., tepatnya yang menjadi objek asuransi pada saat itu adalah kapal Sant Clear yang sedang beraktivitas menyebrangi lautan dari Jenewa menuju Mursiliya, dan jika dilihat dari segi persyaratan kelayakan pakai kapal tersebut, secara kondisional sudah doyong, sehingga berimplikasi terhadap batalnya kontrak asuransi yang telah disepakati.
Pada perkembangannya, ansurasi kelautan secara sistemik dan di per-undang-ungdangkan, muncul di Barselona pada tahun 1435. M. yang diikuti oleh negara Perancis pada abad 16. Kemudian muncul Luwis 14 pada tahun 1681 tentang ketetapan bagi pekerja bersama awak kapal. Sepanjang itu, kemuadian ahli hukum Peranscis, membuat hukum perasuransian laut yang termasuk bagian dari Undang-Undang Perdagangan Prancis tahun 1807. M. Senada dengan hal tersebut, muncul Undang-Undang peransurasian kelautan secara khusus, yang memberikan rumusan pengertian atas asuransi kelautan, yang meliputi batasan-batasan aspek peransurasian pada tahun 1601 di Inggris. Kemudian ada sekelompok jama’ah atau permusyawarahan Lawiduz di London yang berniat menjadikan asuransi kelautan berorientasikan kepada keuntungan.
Selain asuransi kelautan, juga muncul asuransi kebakaran pada tahun 1666. M yang didasari oleh hancurnya sebagian besar rumah-rumah yang ada di London akibat kebakaran, kemudian menyebar keseluruh Eropa pada abad 18 M. Hal ini yang mendasari munculnya pendanaan untuk asuransi kebakaran pada tahun 1717 M.
Pada aba ke 15 M. asaransi jiwa memisahkan diri atau menjadi independen, akan tetapi justru memunculkan gejolak permusuhan yang ditandai dengan adanya pertaruhan (rohan) dan perjudian (muqamarah). Sehinggga kehidupan manusia cenderung tunduk kepada perjudian. Luwis. 14, memunculkan ide penting untuk menagkal bahaya diluar moral. Sebagaimana para pembuat hukum yang memberikan hukuman, yang menunjukkan munculnya peraturan/ UU Letontine yang bersandar atas prinsip kesepakatan bersama, untuk menolak anggota diantara mereka yang kerjasama tahunan selagi masih hidup. Dan Apabila mati keluarga anggotanya, orang-orang yang kerjasama yang masih hidup, dan investor mendistribusikan kerjasama diantara orang-orang yang masih hidup saja, sistem ini bersandar kepada unsur penipuan, keuntungan dan spekulasi, yang orientasinya adalah mewujudkan keuntungan.
Sebaliknya muncul sistem lain di Inggris yang menyerupai asuransi kerjasama (ta’awun), dan asuransi gotong royong (takaful) dalam hal kematian diantara mereka, yang mana ditujukan bagi keluarganya yang mati. Pada perkembangan berikutnya, asuransi jiwa menyebar di negara Eropa sejak abad 18 bersamaan dengan berkembangnya asuransi jiwa di Prancis pada tahun 1787 M. dan Holandia pada tahun 1807, dan di Ceko pada tahun 1824, Jerman tahun 1829, dan di Suwis pada tahun1841.
Pada perkembangan berikutnya (abad modern), muncul sebuah jasa asuransi syari’ah yang keberadaannya tidak bisa lepas dari asuransi konvensional yang telah lama exist. Munculnya isu peransurasian syari’ah baru terjadi pada dekade tahun 70an. Hal ini dipicu oleh adanya fatwa pengharaman praktek asuransi konvensional oleh beberapa negara Islam atau yang mayoritas penduduknya muslim. Seperti Malaysia mengharamkan asuransi konvensional pada tahun 1972, dan pada tahun 1979 Faisal Islamic Bank of Sudan memprakarsai berdirinya asuransi syari’ah Islamic Insurance Co. Ltd. Di Sudan serta Arab Saudi. Lalu diikuti pula berdirinya beberapa lembaga asuransi di negara-negara non-muslim seperti Swiss, Luxembourg dan Bahamas pada tahun 1993.
Sementara di malaysia sendiri lembaga asuransi syariah baru berdiri pada tahun 1984. Dan Indonesia, asuransi takaful baru muncul sepuluh tahun kemudian, seiring diresmikannya PT Syarikat Takaful Indinesia. Berdirinya PT STI ini tidak lepas dari pemikiran Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang berkerjasama dengan Bank Muamalah Indonesia dan perusahaan Asuransi Tugu Mandiri sepakat memprakarsai pendirian asuransi takaful dengan menyusun Tim Pembentukkan Asuransi Takaful Indonesia (TEPATI). TEPATI inilah yang kemudian menjadi perumus dan perealisir berdirinya Asuransi Takaful Indonesia dengan mendirikan PT Asuransi Takaful Keluarga (asuransi jiwa) dan PT Asuransi Umum (asuransi kerugian).

C. Pengertian Asuransi
Kata asuransi berasal dari bahasa Inggris, insurance, yang dalam bahasa Indonesia telah menjadi bahasa populer dan diadopsi dalam kamus besar bahasa Indonesia dengan padanan kata ‘pertanggungan’. John M. Echols dan Hassan Syadilly memaknai kata insurance dengan (a) asuransi, dan (b) jaminan. Dalam bahasa Belanda biasa disebut dengan istilah assurantie (asuransi) dan verzekering (pertanggungan). Sedangkan asuransi dalam dunia Islam biasa dikenal dengan istilah takaful, ta’min, atau tadhamun.
Menurut istilah lain, asuransi juga dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 1 Undang-Undang nomor 2 tahun 1992 (tentang usaha perasuransian), atau merujuk kepada Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) dan Undang-Undang Kepailitan, pada bab kesembilan Pasal 246, yang mana dalam undang-undang tersebut didefiisikan sebagai berikut:
“Asuransi atau pertanggungan, adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung mengikat diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan suatu pergantian kepadanya (tertanggung) karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tidak tertentu.”
Dari rumusan pasal tersebut dapat dikemukakan bahwa pada dasarnya asuransi atau pertanggungan adalah merupakan suatu ihtiyar dalam rangka menanggulangi adanya risiko. Adapun yang dimaksud dengan risiko adalah “setiap kali orang tidak dapat menguasai dengan sempurna, atau mengetahui terlebih dahulu mengenai masalah yang akan datang”, yakni suatu peristiwa yang terjadi di luar kehendak pihak tertanggung yang menimbulkan kerugian baginya, yang mana risiko tersebut merupakan objek jaminan asuransi .

Menurut pengertian di atas, dapat dirumuskan bahwa asuransi syari’ah merupakan model perusahaan produk jasa pertanggungan atas resiko, yang mengikatkan dirinya kepada tertanggung, dengan menerima suatu premi untuk memberikan suatu pergantian kepada tertanggung atas suatu kerugian (klaim). Sedangkan dalam prakteknya, mendasarkan kepada prinsip ta’awun, dan selalu komitmen kepada prinsip-prinsip syari’ah, terutama kemaslahatan umat dan rahmat bagi alam.

D. Dasar Hukum Asuransi Syari’ah
Secara tekstual, dalam al-Qur’an tidak ada satupun ayat yang menerangkan tentang asuransi secara ekplisit. Tetapi dalam ayat lain dapat ditemukan dalil-dalil yang bersifat metaforis (qiyasi) yang secara arti sesuai dengan subtansi yang dimaksudkan oleh makna asuransi itu sendiri. Dasar asuransi juga dapat ditemukan dalam Undang-Undang yang tertuang dalam Pasal 1 Undang-Undang nomor 2 tahun 1992 (tentang usaha perasuransian), dan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang pasal 246.
Prinsip dasar yang digunakan oleh asuransi syari’ah adalah berasaskan konsep "takaful" yang merupakan perpaduan tanggung jawab dan persaudaraan peserta. Perpaduan tanggung jawab adalah salah satu bentuk dari sikap saling tolong menolong (ta’awun) yang menjadi doktrin ajaran Islam. Juga bisa diartikan sebagai bentuk saling berbuat kejujuran, keadilan, dan saling menjamin.
Disisi lain dalil yang menjadi landasan asuransi syari’ah sesuai dengan fatwa Dewan Syari’ah Nasional No. 21/DSN-MUI/X/2000, mengacu kepada dalil ayat al-Qur’an, dan dalil-dalil hukum lain, yaitu: Qs: al-Hasyr [59]: 18., al-Hadist,dan al-Qaidah al-Fiqhiyah:,

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.(Qs: al-Hasyr [59]: 18).

Dalam hadist Nabi juga dijelaskan, yaitu hadist riwayat Imam Muslim berikut:
Artinya: “orang yang melepaskan seorang muslim dari kesulitannya di dunia, Allah akan melepaskan kesulitannya di hari kiamat; dan Allah senantiasa menolong hamba-hambanya selama dia (suka) menolong saudaranya”. (HR. Imam Muslim dari Abu Hurairah).

Kemudian dalam al-Aqaid al-Fiqhiyah juga dijelaskan berikut:
Artinya: “Pada dasarnya semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya”. (al-Aqaid al-Fiqhiyah).

E. Prinsip Dasar Asuransi Syari’ah
Perusahaan asuransi, baik asuransi kerugian maupun asuransi jiwa, memiliki prinsip-prinsip yang menjadi pedoman bagi seluruh penyelenggaraan kegiatan asuransi di mana pun berada. Menurut Hasan Ali, dalam penyelenggaraan perusahaan asuransi paling tidak harus meliputi 6 unsur prinsip dasar yang harus terkumpul secara utuh di antaranya:
(1). Unsur kepentingan yang dipertanggungkan (insurable interest),
(2). Kejujuran sempurna (utmost good faith),
(3). Penggantian kerugian (indemnity),
(4). Subrogasi (subrogation),
(5). sokongan (contribution) ,dan
(6). Kausa proksimal (proximate cause), yang sudah menjadi rukun bagi asuransi konvensional.
Tentunya secara niscaya, prinsip ini jauh lebih berbeda dibanding dengan prinsip-prinsip yang ada pada asuransi syari’ah.
Prinsip dasar yang ada dalam asuransi syari’ah tidaklah jauh berbeda dengan prinsip dasar yang berlaku pada konsep ekonomika Islami secara komprehensif dan bersifat major. Hal ini disebabkan karena kajian asuransi syari’ah merupakan derivasi (minor) dari konsep ekonomi Islami. Sebagai lembaga yang islami, asuransi syari’ah tetap konsisten pada nilai-nilai normatif Islam, terlebih pada prinsip dasar pijakannya, mengharuskan menjadi fondasi asuransi syari’ah yang kokoh secara konstruksional, di atas bangunan nilai-nilai Islam.
Pada dasarnya asuransi syari’ah, terbangun atas sepuluh macam prinsip secara Islam, yaitu: tauhid (unity), keadilan (justice), tolong-menolong (ta’awun), kerja sama (cooperation), amanah (trustworthy/al-amanah), kerelaan (al-ridha), kebenaran (al-shidq), larangan riba, larangan judi (maisyir), dan larangan penipuan (gharar).
Inilah formulasi prinsip yang membatasi gerak lingkup perusahaan perasuransian syari’ah pada umumnya, yang secara konsep prinsipnya sangat konfrontatif dengan prinsip dasar yang digunakan oleh perasuransian konvensional. Dikarenakan pada asuransi syari’ah secara komprehensif menggabungkan dua dimensi nilai secara equilibrium “al-habl minallah wa al-habl minannas”, sebagai koridor untuk mencari keselamatan dunia dan akhirat.

F. Kontrak dalam Asuransi
Istilah kontrak atau “perjanjian” dalam hukum Indonesia disebut “akad” dalam hukum Islam. Kata akad berasal dari kata al-aqd, yang berarti mengikat, menyambung atau menghubungkan (ar-rabt). Asuransi sebagai satu bentuk kontrak modern tidak dapat terhindar dari akad yang membentuknya. Hal ini disebabkan karena dalam prakteknya, asuransi melibatkan dua orang yang terikat oleh perjanjian, yaitu pihak penanggung (perusahaan asuransi) mengikatkan diri kepada tertanggung (peserta asuransi), dengan menerima premi asuransi untuk tertanggung karena suatu kerugian. Inilah kontrak (akad) yang pada umumnya digunakan oleh asuransi konvensional.
Secara spesifik asuransi syari’ah (ta’min, takaful atau tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang melalui investasi dalam bentuk aset atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syari’ah. Akad yang dimaksud adalah akad yang tidak mengandung unsur gharar (penipuan), maysir (perjudian), riba, dzulum (penganiayaan), risywah (suap), barang haram dan maksiat.

Perjanjian (akad) yang digunakan dalam asuransi syari’ah atau takaful pada dasarnya merupakan suatu konsep investasi. Umumnya menggunakan akad mudharabah, namun ada juga (di Indosesia) yang menggunakan akad lainnya dalam hubungan perusahaan asuransi takaful dengan para pesertanya. Pada dasarnya akad yang dilakukan antara peserta dengan perusahaan terdiri atas akad tijarah dan akad tabarru’. Akad tijarah adalah mudharabah dan akad tabarru’ adalah hibah.
Dalam suatu akad, paling tidak harus menyebutkan hal tertentu yang harus diketahui antara kedua belah pihak yang saling mengadakan perjanjian dalam suatu akad asuransi takaful. Diantaranya: (1). hak dan kewajiban peserta dan perusahaan, (2). cara dan waktu pembayaran premi, (3). Jenis akad tijarah atau akad tabarru’, serta syarat-syarat yang disepakati, sesuai dengan jenis asuransi yang diadakan. Sehingga pada saat jatuh tempo yang diperjanjikan dalam suatu akad tersebut, tidak menimbulkan sengketa dari kedua belah pihak yang saling mengikat perjanjian.

Asuransi (ta’min) merupakan bagian dari jelajah hukum perjanjian yang menggunakan akad secara tersendiri, dan akad asuransi merupakan akad kontemporer yang tidak detemui pada zaman ulama terdahulu, juga tidak ditemukan nash khusus yang secara jelas mengharamkannya. Maka permasalahan tentang akad asuransi ini, merupakan permasalahan ijtihadi, yang harus terus digali untuk mencari posisi hukum secara proporsional menurut hukum Islam.
Dalam suatu kontrak mengharuskan adanya suatu persyaratan tertentu, untuk mendapatkan suatu keabsahan kontrak tersebut secara yuridis. Maka suatu kontrak akan dianggap sah apabila sudah memenuhi persyaratan tertentu yang dimaksudkan, “termasuk asuransi”, sebagaimana yang sudah diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata. Syarat sahnya kontrak menurut pasal 1320 tersebut adalah sebagai berikut:
1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya (adanya kesepakatan kehendak).
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan (cakap berbuat).
3. Suatu pokok persoalan tertentu (adanya hal tertentu).
4. Suatu sebab yang tidak terlarang (kausa yang halal).
Adapun hal-hal lain yang dapat menyebabkan suatu kontrak itu dianggap tidak sah dan batal secara hukum, apabila dalam suatu kontrak tersebut keluar (tidak memenuhi) dari regulasi keabsahan kontrak yang sudah diatur, sebagaimana sudah tertera dalam KUH Perdata pasal 1320 yang telah disebut di atas.
Sedangkan menurut Asuransi Islam “al-ta’min”, dalam sebuah kontrak atau akad harus memenuhi beberapa rukun yang telah ditentukan sebagaimana penjelasan berikut:
Menurut versi asuransi Islam, dalam sebuah akad harus memenuhi tiga komponen rukun di atas. Apabila salah satu di antara tiga rukun tersebut tidak terpenuhi, maka, secara pasti kontrak atau akad yang dilakukan tersebut batal demi hukum, atau tidak sah menurut akad perspektif hukum Islam.

G. Klasifikasi Jenis Asuransi
Pada literatur ekonomi Islam kebanyakan para ulama membagi asuransi kedalam beberapa jenis asuransi secara garis besar, yakni asuransi atas individu dan asuransi atas benda. Tetapi kadang juga terdapat jenis asuransi lain yang disebut dengan asuransi pertanggungjawaban. Asuransi individu adalah seperti asuransi jiwa yang meliputi; jaminan atas bencana, pendidikan, pembiayaan, dana haji, dan jaminan atas kesehatan. Jika asuransi jiwa inten dengan permasalahan-permasalahan yang bersifat individual (subjektif), maka asuransi atas benda, memfokuskan intensitasnya kepada hal-hal yang bersifat kebendaan (material), seperti asuransi kebakaran atas rumah, kendaraan bermotor, pengangkutan, dan lain-lain.
Sedangkan asuransi pertanggungjawaban adalah asuransi yang fokus sasarannya berkaitan dengan tanggungjawab seseorang atas suatu kejadian yang menyebabkan kerugian pada orang lain. Maka orang yang mengadakan penjanjian dengan perusahaan asuransi tersebut mendapat ganti rugi atas klaim tersebut, tetapi “dengan beberapa syarat dan ketentuan yang telah ditetapkan oleh pihak perusahaan jasa asuransi”.
Secara spesifik dalam asuransi syari’ah “al-ta’min” terbagi atas tiga jenis yaitu:asuransi komersial,asuransi gotong-royong.
Sedangkan dalam syarikat takaful, juga mengklasifikasikan takaful kedalam dua jenis bentuk perlindungan takaful, yaitu (1). Takaful keluarga (asuransi jiwa), dan (2). Takaful umum (asuransi umum).
Takaful keluarga adalah bentuk takaful yang memberikan perlindungan finansial kepada peserta takaful dalam menghadapi bencana kematian, dan kecelakaan yang menimpa kepada peserta takaful. Sedangkan takaful umum adalah bentuk takaful yang memberikan perlindungan finansial kepada peserta takaful dalam menghadapi bencana atau kecelakaan harta benda milik peserta takaful.
Dalam pendapat lain, tentang jenis-jenis asuransi dapat ditemukan dalam BAB III Pasal 3 undang-undang nomor 2 tahun 1992, yang mana dalam Pasal tersebut dikemukakan sebagai berikut:
1) Asuransi Kerugian. Yaitu perjanjian asuransi yang memberikan jasa dalam penanggulangan resiko atas keruguian kehilangan manfat, dan tanggun jawab hukum kepada pihak ketiga yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti.
2) Asuransi Jiwa. Yaitu perjanjian asuransi yang memberikan jasa dalam penanggulangan resiko yang dikaitkan dengan hidup atau meninggalnya seseorang yang dipertanggungkan.
3) Re-Asuransi. Yaitu perjanjian asuransi yang memberikan jasa dan pertanggungan ulang terhadap resiko yang dihadapi oleh perusahaan.

H. Manajemen Resiko dalam Asuransi
Az-Zarqa mengemukakan bahwa pada dasarnya asuransi adalah suatu cara atau metode untuk memelihara manusia dalam menghindari resiko. Sedangkan resiko adalah hal yang paling dihindari oleh manusia. Karena sudah menjadi watak manusia untuk selalu menghindar dan meminimalisir resiko dalam setiap aktivitas kehidupannya. Dalam hal ini, Islam tidak bertentangan dengan prinsip manajemen resiko, selama praktek tersebut tidak mengandung unsur gharar (ketidakpastian), maisir (gambling), riba (interest),dzulm (eksploitasi).

Ada berbagai cara bagaimana manusia dapat menangani resiko terjadinya musibah. Pertama: dengan menanggungnya sendiri (risk retention).
Kedua : mengalihkan resiko kepada pihak lain (risk transfer)., dan
Ketiga : mengelolanya secara bersama-sama (risk sharing).

Pada dasarnya asuransi syari’ah senantiasa terkait dengan kelompok. Ini berarti musibah bukanlah masalah individual (particular risk), melainkan masalah kelompok atau masyakat (fundamental risk).
Dalam asuransi syari’ah, tidak mengenal pengalihan resiko (transfer risk), yang dipakai adalah pembagian resiko (sharing risk). Konsep pembagian resiko, yang saling menaggung resiko adalah para peserta itu sendiri, bukan perusahaan asuransi. Sehingga perusahaan asuransi bukan berfungsi sebagai penaggung, tetapi berfungsi sebgai pemegang amanah. Perihal polis peserta tidak membelinya, tetapi memberikan donasi atau derma (dalam asuransi syari’ah biasa disebut dengan tabarru’) yang diniatkan untuk tolong-menolong di antara peserta bila terjadi musibah, juga tidak terjadi pengalihan kepemilikan dana, yang ada hanyalah pengumpulan dana atau pooling of fund.

I. Polis, Premi, dan Klaim Asuransi
Polis asuransi merupakan isi dari kontrak asuransi. Dalam polis asuransi tersebut, diperinci hak-hak dan kewajiban dari pihak penanggung dan tertanggung, syarat-syarat dan prosedur pengajuan klaim jika terjadi peristiwa yang diasuransikan, prosedur dan cara pembayaran premi oleh pihak tertanggung, dan hal-hal lain yang dianggap perlu.
Secara teoritis, kontrak asuransi adalah kontrak yang bisa dinegosiasikan, meskipun dalam kenyataannya banyak pihak asuransi tidak berkenaan untuk menegosiasikan isi polis asuransi, dan sudah merupakan perjanjian standar (baku) sehingga tidak akan diubah lagi, dan bagi pihak tertanggung berada pada posisi “merima atau menolak” perusahaan asuransi tersebut (take it or leave).
Premi secara etimologis adalah uang hadiah karena hasil kerja yang memuaskan (satisfied). Tetapi terma ini, dalam asuransi sebagai uang jaminan finansial yang dibayarkan secara advance atas kerugian yang akan terjadi pada masa mendatang. Adapun jumlah nominal sesuai dengan kesepakatan kontrak yang telah disepakati.
Pembayaran (premi) menurut asuransi syari’ah, didasarkan atas jenis akad tijarah dan jenis akad tabarru’. Untuk menentukan besarnya premi perusahaan asuransi syari’ah dapat menggunakan rujukan, misalnya tabel mortalita untuk asuransi jiwa, dan tabel morbidita untuk asuransi kesehatan, dengan syarat tidak memasukkan unsur riba dalam perhitungannya. Premi yang berasal dari jenis akad mudharabah dapat diinvestasikan dan hasil investasinya dibagi-bagikan kepada peserta. Sedangkan premi yang berasal dari jenis tabarru’ juga dapat diivestasikan sebagaimana jenis akad mudharabah.
Sedangkan “klaim” adalah permintaan ganti rugi dari tertanggung kepada penanggung, sesuai dengan kerugian yang dipertanggungkan berdasarkan polis asuransi. Klaim dibayarkan berdasarkan akad yang disepakati diawal perjanjian. Klaim dapat berbeda dalam jumlah, sesuai dengan premi yang dibayarkan. Klaim dalam asuransi syari’ah berdasarkan atas akad tijarah sepenuhnya merupakan hak peserta, dan merupakan kewajiban perusahaan untuk memenuhinya. Sedang klaim atas akad tabarru’ merupakan hak peserta dan merupakan kewajiban perusahaan asuransi, sebatas yang disepakati dalam akad.

J. Diferensiasi Sistem Operasional dalam Asuransi
Perbedaan asuransi syari’ah dan konvensional meliputi:
1) Keberadaan Dewan Pengawaas Syari’ah (DPS) dalam perusahaan asuransi syari’ah merupakan suatu keharusan. Dewan ini berperan mengawasi manajemen, produk serta kebijakan investasi supaya sejalan dengan syaria’at Islam.
2) Prinsip asuransi syari’ah adalah takafulli (tolong-menolong), sedangkan prinsip asuransi konvensional tabaduli (jual beli antara nasabah dengan perusahaan).
3) Dana yang terkumpul dari nasabah perusahaan asuransi syari’ah (premi) diinvestasikan berdasarkan syari’ah dengan sistem bagi hasil (mudharabah). Sedang pada asuransi konvensional investasi dana dilakukan pada sembarang sektor dengan sistem bunga.
4) Premi yang terkumpul diperlakukan tetap sebagai dana milik mengelolanya. Sedangkan pada asuransi konvensional, premi menjadi milik perusahaan dan perusahaanlah yang memiliki otoritas.
5) Untuk kepentingan pembayaran klaim nasabah dana diambil dari rekening tabarru’ seluruh peserta yang sudah diiklaskan untuk keperluan tolong-menolong bila ada peserta yang terkena musibah. Sedangkan dalam asurasi konvensional, dana pembayaran klaim diambil dari rekening milik perusahaan.
6) Keuntungan investasi dibagi dua antara nasabah selaku pemilik dana dengan perusahaan selaku pengelola, dengan prinsip bagi hasil. Sedangkan dalam asuransi konvensional, keuntungan sepenuhnya menjadi milik perusahaan, jika tidak ada klaim tidak mendapatkan apa-apa (dana hangus).

System Operasional dan Perbedaan
Asuransi Syari’ah dengan Asuransi Konvensional
Unsure Pembeda Asuransi Syari’ah Asuransi Konvensional
Dewan Pengawas Syari’ah (DPS) Ada DPS yang berfungsi untuk mengawasi prinsip operasional yang digunakan, produk yang ditawarkan, dan investasi dana Tidak ada DPS (Dewan Pengawas Syari’ah).
Akad Takaful (saling menjamin atau saling menolong) di antara peserta serta Ansuransi Tabaduli (Tukar Menukar Atau Jual Beli) Antara Peserta Asuransi Dengan Perusahaan Asuransi
Investasi Dana Berdasarkan syari’ah dengan prinsip bagi hasil (mudharabah dan musyarakah), serta murabahah, al-ba’i bitsaman ‘ajil, salam, isti’na, atau pengembangan akad ijarah. Berdasarkan bunga
Kepemilikan Dana Dana yang terkumpul dari peserta, tetap milik peserta, sedangkan perusahaan Asuransi hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya Dana yang tekumpul dari peserta menjadi milik perusahaan Asuransi. Perusahaan bebas menentukan investasinya.
Pembayaran Klaim Dari rekening peserta, rekening tabarru’ (dana kebajikan) seluruh peserta, yang sejak awal sudah diikhlaskan untuk keperluan tolong-menolong bila terjadi musibah, serta bagian hasil investasi. Dari rekening dana perusahaan.
Keuntungan (Profit) Dibagi antara perusahaan Asuransi dengan peserta (sesuai prinsip bagi hasil) Seluruhnya menjadi milik perusahaan.


K. Sekilas Analisis: Multi Prespektif Atas Posisi Hukum Asuransi
Masalah asuransi, bukan sekedar menjadi wacana baru bagi negara-negara belahan dunia (Islam), tetapi lebih merupakan fenomena riil terkini, yang menimbulkan banyak polemic yuridis pada kancah intelektual (ulama fiqh) Islam. Polemic yuridis ini muncul, berangkat dari tidak adanya suatu dalil (nash) al-Qur’an dan al-Hadist satu pun yang menentukan serta mengatur secara eksplisit tentang asuransi. Oleh karena itu masalah asuransi ini di dalam Islam termasuk bidang hukum “ijtihadiyah” artinya untuk menentukan hukumnya asuransi ini halal atau haram masih diperlukan peranan akal pikiran para ulama ahli fiqh melalui ijtihad.
Berbagai perdebatan di kalangan para ulama fiqh (baik ulama klasik maupun modern), tentang asuransi tersebut, ada empat point prespektif terpeting yang signifikan secara umum (global), berkaitan dengan istimbat hukum dalam pengisbatan hukum asuransi itu sendiri. Pertama: bahwa asuransi termasuk segala macam bentuk dan cara operasinya haram. Padangan ini didukung oleh beberapa ulama, di antaranya: Yusuf al-Qordlowi, Sayid Sabiq, Abdullah al-Qalqili dan Muhammad Bakhit al-Muthi’. Menurutnya alasan diharamkannya asuransi dikarenakan beberapa hal:
1. Asuransi mengandung unsur perjudian (maisir/gambling) yang dilarang Islam.
2. Asuransi mengandung unsur ketidakpastian (ghurur).
3. Asuransi mengandung unsur riba yang dilarang dalam Islam.
4. Asuransi mengandung unsur eksploitasi (kezaliman) yang bersifat menekan.
5. Asuransi termasuk jual beli atau tukar menukar mata uang tidak secara tunai.
6. Asuransi obyek bisnisnya dituangkan pada hidup dan matinya seseorang, yang berarti mendahului taqdir Tuhan.
Selanjutnya, senada dengan pendapat ini, setelah melakukan pengkajian secara sekasama dan tukar menukar pandangan, secara aklamasi Dewan Fiqih Islam minus Syaikh Mustafa az-Zarqa, menetapkan pengharaman asuransi (Niaga) dengan segala ragam jenisnya, baik yang menyangkut jiwa barang komoditas, maupun yang lain, berdasarkan dalil-dalil yang dijadikan pedoman dalam istimbat hukumnya.
Kedua: kelompok ulama yang berpendapat bahwa asuransi hukumnya halal atau diperbolehkan dalam Islam. Pendukung pandangan kelompok kedua, antara lain, Abdul Wahab Khallaf, Muh. Yusuf Musa, Abdurrahcman Isa, dan Muhammad Nejatullah Siddiqi.

Menurut pandangan kelompok kedua, alasan yang memperbolehkan asuransi adalah:
1. Tidak ada ketetapan nash, al-Qur’an maupu al-Hadist yang melarang asuransi.
2. Terdapat kesepakatan kerelaan dari keuntungan bagi kedua belah pihak baik penanggung maupun tertanggung.
3. Menguntungkan kedua belah pihak
4. Asuransi termasuk kategori koperasi (syirkah ta’awuniyah) yang diperbolehkan dalam Islam.
5. Mengandung kepentingan umum (maslahah amanah), sebab premi-premi yang terkumpul dapat diinvestasikan untuk proyek-proyek yang produktif dan untuk pembangunan.

DR. Abdul Ghani al-Rajhihi, juga sepakat dengan pendapat yang menghalalkan perusahaan jasa asuransi. Tetapi ia menggunakan prespektif yang berbeda atas penghalalan perusahaan jasa asuransi, sebagai argumentasinya. Dalam kitab: “Al-Tijarah fi Dlau’i al-Qur’an wa al-Sunnah”, ia mengatakan:
“Asuransi biasanya digunkan pada pengiriman barang, pemilik barang meng-asuransi-kan barang mereka keapda perusahaan asuransi dengan presentase tertentu atas nilai barang yang dikirimkan, pemilik barang meminta jaminan atas keselamatan barangnya dalam pengiriman. Jika barang yang dikirimkan selamat, maka pemilik barang tidak mendapatkan apa-apa, premi yang telah dibayarkan dalam prosentase tertentu diawal, menjadi milik pihak asuransi. Namun jika terjadi kerusakan/tenggelam atas barang yang dikirim, maka pihak pemilik barang berhak mendapatkan klaim dari pihak asuransi. Jika premi yang dibayarkan pemilik barang diindetikkan dengan jualah (upah yang diberikan karena telah menyelesaikan sesuatu) atau ujrah (upah) atas amal yang telah dilakukan, yaitu menjaga dan memelihara pengiriman barang, dan jika klaim yang dibayarkan oleh pihak asuransi jika terjadi kerusakan, sebagai ganti atas tugasnya untuk menjaga, akan tetapi tidak menjaganya, maka semua yang dilakukan itu halal dan sesuai dengan muamalah Islam.

Ketiga: Kelompok ulama yang berpendapat bahawa asuransi yang diperbolehkan adalah asuransi yang bersifat komersial dilarang dalam Islam. Pendukung pandangan ini adalah: Muhammad Abu Zahroh, dengan alasan bahwa asuransi yang bersifat sosial diperbolehkan, karena jenis asuransi sosial tidak mengandung unsur-unsur yang dilarang di dalam Islam. Jelasnya, asuransi model ini termasuk model yang fleksibel, yang diproyeksikan kepada nilai-nilai kemaslahatan atau maqosid syar’i-nya yaitu ideal moral. Sehingga diasumsikan tidak saklek dalam pengambilan sebuah hukum dan terkesan lebih kontekstual. Atau pengharamannya dalam kondisi tertentu (dan membolehkannya dalam kondisi tertentu pula).
Muhammad Abu Zahroh, bisa dikatakan sebagai ulama yang moderat dalam hal ini, karena ia mencoba mengambil garis tengah, sehingga ditemukan sebuah fleksibilitas hukum, bukan berarti mempolitisir hukum, melainkan mencari hakekat subtansial menurut makna kandungan yang dikehendaki oleh hukum, dalam kebolehan dilakukannya praktek jasa asuransi.

Keempat: kelompok ulama yang berpendapat bahwa hukum asuransi termasut subhat, karena tidak ada dalil-dalil syar’i yang secara jelas mengharamkan atau yang menghalalkan asuransi, oleh karena itu, harus berhati-hati ketika dalam berhubungan dengan permasalahan asuransi.
Terlepas dari empat pandangan di atas, umat Islam di Indonesia bersikap mendua. Di satu pihak tuntutan kebutuhan akan masa depan, asuransi merupakan kebutuhan setiap orang, sehingga keikut sertaannya di dalam asuransi sangat urgen. Di lain pihak keterlibatan orang Islam di dalam usaha asuransi belum bisa secara optimal, karena masih ragu-ragu tentang kedudukan hukumnya di dalam Islam.
Maka, hipotesis yang paling mendasar menjelaskan bahwa: asuransi merupakan tuntutan masa depan, karena asuransi mengandung banyak maslahat dan manfaat, termasuk diantaranya adalah: membuat masyarakat atau perusahaan menjadi lebih aman dari risiko kerugian yang mungkin timbul. Menciptakan efisiensi perusahaan (business effisiency)., sebagai alat penabung (saving) yang aman dari gejolak ekonomi., dan sebagai sumber pendapatan (earning power), yang didasarkan pada financing business. Sedangkan keraguan umat Islam terhadap kedudukan asuransi, tidak lain adalah karena unsur penyebab pengharaman asuransi sendiri, sebagaimana pemaparan yang sudah terjelaskan di atas tersebut.

L. Kesimpulan
Kajian tentang asuransi merupakan persoalan yang tergolong baru bagi Islam. walaupun secara konseptual sudah ada semenjak zaman sebelum Masehi, tepatnya pada masa kekuasaan raja Qiftir; yaitu era Nabi Yusuf, dan telah dipraktekkan pada zaman Nabi Muhammad, yang disebut dengan aqilah. Aqilah yang diterapkan pada zaman Nabi, merupakan peninggalan budaya dan adat istiadat orang-orang terdahulu. Karena sebelum Islam datang, aqilah sudah ada terlebih dahulu, yaitu penebusan dengan pembayaran uang yang diberikan oleh ahli waris kerabat terdekat pembunuh, dengan atas nama Si-pembunuh kepada keluarga terbunuh.
Secara historis Nabi pernah melakukan praktek tersebut, yang dimaksudkan sebagai diyat bagi pembunuh. Tetapi permasalahan yang dihadapi adalah berbeda dengan konteks sekarang. Asuransi bukanlah jaminan “diyat” bagi seorang pembunuh yang dibayarkan setelah terjadinya pembunuhan “karena kesengajaan”, atau bukan seperti halnya yang pernah terjadi pada masa Nabi Yusuf yang mengupayakan penanggulangan atas bencana paceklik di masa mendatang “musibah secara pasti diketahui akan terjadi”.

Asuransi yang ada sekarang adalah terbentuk dalam sebuah lembaga yang menawarkan produk jasa untuk menanggulangi resiko yang akan terjadi di masa mendatang dengan membayar sebuah premi atas klaim atau kerugian, Karena ketidak-sepurnaannya seorang atas musibah yang akan terjadi. Inilah yang dimaksud dengan permasalahan baru, yang secara hukumnya belum ditemukan dalil nash al-Quran dan al-hadist. Sehingga menjadi permasalahan yang bersifat ijtihadi.
Aspek-aspek yang menjadi permasalahan ijtihadi dalam asuransi adalah adanya unsur ekploitasi, manipulasi, dan unsur ribawi. Berbeda dengan maksud asuransi pada masa zaman dahulu. Karena di dalamnya tidak ada unsur ekploitasi, manipulasi dan lain-lain. Itu hanyalah sebatas konsep ta’awuniyah yang sangat berbeda secara kontekstual dan prosedur operasionalnya. Sehingga ada pendapat lain yang mengasumsikan bahwa asuransi tidak dikenal pada zaman Nabi.
Hematnya, semua bentuk asuransi syari’ah, menurut yurisprudensi Islam, diperbolehkan “kecuali asuransi konvensional”. Karena secara kronologis kemunculan asuransi syari’ah adalah sebagi responsibility bagi asuransi konvensional. Disisi lain asuransi syariah secara konsisten bersikap kukuh berdasar kepada normatifitas agama (al-Quran dan al-Hadist). Tetapi yang paling urgen dalam asuransi syari’ah, selalu melihat dan mengetrapkan tujuan dari pada al-maqosid asy-syari’ah, yang dalam asuransi syari’ah tersebut selalu mengedepankan prinsip ta’awun, antaradhin, lil maslahah dan la tazdlimun wala tuzdlamun., yang sekaligus sebagai fondasi atas diperbolehkannya praktek asuransi syari’ah.



DAFTAR PUSTAKA

Ali Muhyiddin al-Qarahdagy, al-Ta’min al-Islam: Dirasah Fiqhiyah Ta’shiliyah, muqaranah bit-Ta’min al-Tijari ma’a al-Tathbiqat al-Amaliyah, Beirut, Libanon: Sirkah Daar al-Basyair al-Islamiyah, 1983.
Ali, Hasan, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam: Suatu Tinjauan Analisis Historis, Teoritis, dan Praktis, Jakarta: Kencana, 2004.
Anwar, Syamsul, Hukum Perjanjian Syari’ah; Studi Tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalah, Jakarta: Raja Grafindo, 2007.
A partanto, Pius, dan al-Barry, M. Dahlan, Kamus Ilmiah Populer Surabaya: Arkola, 1994.
al-Asqalani, Ahmad Ibnu Hajar, Fathul Bari. Vol. 12. Lahore Pakistan: Nashrul Kutub Islamiyah, 1981.
Badroen, Faisal dkk, Etika Bisnis Dalam Islam, Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 2006.
Billah, Moh Ma’sum, Islamic Insurance (takaful), Selangor: Ilmiah Publisher, 2003.
Briefcase Edukasi Profesional Syari’ah, Fatwa-Fatwa Ekonomi Syari’ah Kontemporer, disuting oleh Muhammad Firdaus DN. dkk., Jakarta: Renaisan, 2005.
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1996
Darmawi, Herman, Manajemen Asuransi, cet ke-3., Jakarta: Bumi Aksara, 2001.
Fuady, Munir, Pengantar Hukum Bisnis: Menata Bisnis Modern di Era Global, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005.
Januari, Yadi, Asuransi Syari’ah, Bandung: Pustaka Bani Quraisyi, 2005.
KA Fallasufa (STP Sabda), Asuransi dalam Perspektif Syari’ah, Judul Asli: Nudzum at-Ta’min al-Mu’ashirah fi Mizan Asy-Syari’ah al-Islamiyah, Karya Husain Husain Syahatah, Jakarta: AMZAH, 2006.
al-Mishri, Abdul Sami’, Pilar-Pilar Ekonomi Islam, terj. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
M. Echols, John dan Syadilly, Hassan, Kamus-Inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1990.
Muslehuddin, Muhammad, Insurance and Islamic Law, penerj: Burhan Wirasubrata, Menggugat Asuransi Modern: Mengajukan Suatu Alternatif Baru dalam Perspektif Hukum Islam, cet ke-1., Jakarta: Lentera, 1999.
Muthahhari, Murtadha, Pandangan Islam Tentang Asuransi dan Riba, terj., Iwan Kurniawan, Bandung: Pustaka Hidayah, 1995.
Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, Jakarta: UI-PERS, 1974.
Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Asuransi di Indonesia, Jakarta: Pembimbing, 1958.
Perwataatmadja, Karnaen dkk, Bank dan Asuransi Islam di Indonsia Jakarta: Prenada Media, 2005.
Pasaribu, Khairuman dan K. Lubis, Suhrawardi, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Jakarata: Sinar Grafika, 2004.
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Undang-Undang Kepailitan, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2006.
Soimin, Soedharyo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2007.
Sulla, Muhammad Syakir, Asuransi Syari’ah, Jakarta: Gema Insani Press, 2004.
Sumitro, Warkum, Asas-Asas Perbankan Islam dan Lembaga-Lembaga Terkait di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.
Sudarsono, Heri, dan Prabowo, Heri Yogi, Istilah-Istilah Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah, Yogyakarta, UII-Perrs, 2006.
Bey Sapta Utama, Esensi Asuransi Islam., http:/asuransi-syari’ah. Blogspot.com/download tanggal 14/11/2007.
Muhammad Syakir Sulla, Asuransi Syari’ah, Jakarta: Gema Insani Press, 2004