Senin, 09 Maret 2009

korupsi dalam perspektif islam

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia menurut lembaga survey internasional Political and Economic Risk Consultancy yang bermarkas di Hongkong merupakan negeri terkorup di Asia. Indonesia terkorup di antara 12 negara di Asia, diikuti India dan Vietnam. Thailand, malaysia, dan Cina berada pada posisi keempat. Sementara negara yang menduduki peringkat terendah tingkat korupsinya adalah Singapura, Jepang, Hongkong, Taiwan dan Korea Selatan. Pencitraan Indonesia sebagai negara paling korup berada pada nilai 9,25 derajat, sementara India 8,9; Vietman 8,67; Singapura 0,5 dan Jepang 3,5 derajat dengan dimulai dari 0 derajat sampai 10.
Hasil riset yang dilakukan oleh berbagai lembaga, juga menunjukkan bahwa tingkat korupsi di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam ini termasuk yang paling tinggi di dunia. Bahkan koran Singapura, The Straits Times, sekali waktu pernah menjuluki Indonesia sebagai the envelope country. Mantan ketua Bappenas, Kwik Kian Gie, menyebut lebih dari Rp.300 triliun dana dari penggelapan pajak, kebocoran APBN, maupun penggelapan hasil sumberdaya alam, menguap masuk ke kantong para koruptor. Di samping itu, korupsi yang biasanya diiringi dengan kolusi, juga membuat keputusan yang diambil oleh pejabat negara menjadi tidak optimal. Heboh privatisasi sejumlah BUMN, lahirnya perundang-undangan aneh semacam UU Energi, juga RUU SDA, impor gula dan beras dan sebagainya dituding banyak pihak sebagai kebijakan yang sangat kolutif karena di belakangnya ada motivasi korupsi.
Indonesia sebagai salah satu negara terkorup di dunia, pejabat dan birokrat di negara ini dicap sebagai tukang rampok, pemalak, pemeras, benalu, self seeking, dan rent seeker, khususnya di hadapan pengusaha baik kecil maupun besar, baik asing maupun pribumi. Ini berbeda dengan, konon, birokrat Jepang dan Korea Selatan yang membantu dan mendorong para pengusaha untuk melebarkan sayapnya, demi penciptaan lapangan kerja alias pemakmuran warga negara.
Korupsi semakin menambah kesenjangan akibat memburuknya distribusi kekayaan. Bila sekarang kesenjangan kaya dan miskin sudah sedemikian menganga, maka korupsi makin melebarkan kesenjangan itu karena uang terdistribusi secara tidak sehat atau dengan kata lain tidak mengikuti kaedah-kaedah ekonomi sebagaimana mestinya. Koruptor makin kaya, yang miskin semakin miskin. Akibat lainnya, karena uang seolah mudah dipeoleh, sikap konsumtif menjadi semakin merangsang, tidak ada dorongan kepada pola produktif, akhirnya timbul inefisiensi dalam pemanfaatan sumber daya ekonomi yang telah tersedia.
Korupsi juga dituding sebagai penyebab utama keterpurukan bangsa ini. Akibat perbuatan korup yang dilakukan segelintir orang maka kemudian seluruh bangsa ini harus menanggung akibatnya. Ironisnya kalau dulu korupsi hanya dilakukan oleh para pejabat dan hanya di tingkat pusat, sekarang hampir semua orang baik itu pejabat pusat maupun daerah, birokrat, pengusaha, bahkan rakyat biasa bisa melakukan korupsi. Hal ini bisa terjadi barangkali karena dahulu orang mengganggap bahwa yang bisa korupsi hanya orang-orang orde baru sehingga mumpung sekarang orde baru runtuh semua berlomba-lomba untuk ‘meniru’ perilaku korup yang dilakukan orang-orang Orde Baru. Alasan lain yang hampir sama barangkali seperti yang dipaparkan oleh Rieke Diyah Pitaloka dalam tesisnya bahwa kekerasan yang dilakukan masyarakat sipil bukan sesuatu yang otonom, tetapi ada disposisi antara aktor dan kekerasan itu sendiri. Artinya, antara si penguasa dan pelaku kekerasan itu ada timbal balik, contohnya adalah kasus korupsi. Jadi ada semacam perpindahan kekerasan dari negara kepada masyarakat. Perilaku korupsi yang dilakukan oleh hanya segelintir pejabat negara akhirnya ‘berpindah’ dilakukan oleh masyarakat biasa.
Yang lebih berbahaya lagi, korupsi ini tidak hanya dilakukan oleh per individu melainkan juga dilakukan secara bersama-sama tanpa rasa malu. Misalnya korupsi yang dilakukan seluruh atau sebagian besar anggota DPR/DPRD. Jadi korupsi dilakukan secara berjamaah. Yang lebih berbahaya lagi sebenarnya adalah korupsi sistemik yang telah merambah ke seluruh lapisan masyarakat dan sistem kemasyarakatan. Dalam segala proses kemasyarakatan, korupsi menjadi rutin dan telah diterima sebagai alat untuk melakukan transaksi sehari-hari. Selain itu, korupsi pada tahap ini sudah mempengaruhi perilaku lembaga dan individu pada semua tingkat sistem politik serta sosio-ekonomi. Bahkan, pada tingkat korupsi sistemik seperti ini, kejujuran menjadi irrasional untuk dilakukan.
Jika kenyataannya sudah sedemikian parah, maka tidak ada upaya lain yang harus dilakukan kecuali mengerahkan segala kemampuan dan segenap energi bangsa ini untuk bersama-sama bahu membahu memberantas penyakit yang sudah sangat kronis ini. sudah saatnya bangsa ini mengibarkan bendera perang terhadap tindak korupsi ini.
Korupsi bisa terjadi apabila karena faktor-faktor sebagai berikut:
a. Ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan dalam posisi-posisi kunci yang mampu memberikan ilham dan mempengaruhi tingkah laku yang menjinakkan korupsi.
b. Kelemahan pengajaran-pengajaran agama dan etika.
c. Kolonialisme.
d. Kurangnya pendidikan.
e. Kemiskinan.
f. Tiadanya hukuman yang keras.
g. Kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku anti korupsi.
h. Struktur pemerintahan.
i. Perubahan radikal.
j. Keadaan masyarakat.
Sementara Soejono memandang bahwa faktor terjadinya korupsi, khususnya di Indonesia, adalah adanya perkembangan dan perbuatan pembangunan khususnya di bidang ekonomi dan keuangan yang telah berjalan dengan cepat, serta banyak menimbulkan berbagai perubahan dan peningkatan kesejahteraan. Di samping itu, kebijakan-kebijakan pemerintah, dalam upaya mendorong ekspor, peningkatan investasi melalui fasilitas-fasilitas penanaman modal maupun kebijaksanaan dalam pemberian kelonggaran, kemudahan dalam bidang perbankan, sering menjadi sasaran dan faktor penyebab terjadinya korupsi.
Sedangkan faktor yang menyebabkan merajalelanya korupsi di negeri ini menurut Moh. Mahfud MD adalah adanya kenyataan bahwa birokrasi dan pejabat-pejabat politik masih banyak didominasi oleh orang-orang lama. Lebih lanjut menurutnya orang-orang yang pada masa Orde Baru ikut melakukan korupsi masih banyak yang aktif di dalam proses politik dan pemerintahan. Upaya hukum untuk membersihkan orang-orang korup itu juga gagal karena para penegak hukumnya juga seharusnya adalah orang-orang yang harus dibersihkan. Faktor lainnya adalah hukum yang dibuat tidak benar-benar untuk kesejahteraan masyarakat (Rule of Law), tetapi justru hukum dijadikan alat untuk mengabdi kepada kekuasaan atau kepada orang-orang yang memiliki akses pada kekuasaan dan para pemilik modal (Rule by Law). Sebaliknya masyarakat kecil tidak bisa merasakan keadilan hukum. Hukum menampakkan ketegasannya hanya terhadap orang-orang kecil, lemah, dan tidak punya akses, sementara jika berhadapan dengan orang-orang ‘kuat’, memiliki akses kekuasaan, memiliki modal, hukum menjadi lunak dan bersahabat. Sehingga sering terdengar ucapan, seorang pencuri ayam ditangkap, disiksa dan akhirnya dihukum penjara sementara para pejabat korup yang berdasi tidak tersentuh oleh hukum (untouchable)
Namun demikian sebenarnya usaha-usaha pemberantasan korupsi di Indonesia sudah banyak dilakukan, tetapi hasilnya kurang begitu nampak. Walaupun begitu tidak boleh ada kata menyerah untuk memberantas penyakit ini. Penulis melihat karena mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim penting dan logis kiranya untuk meneliti postulat hukum Islam kaitannya dengan korupsi dan bagaimana perspektif dan kontribusinya terutama terhadap kasus korupsi yang ada di Indonesia.
Penulis sendiri berkeyakinan bahwa Islam datang untuk membebaskan dan memerangi sistem ketidakadilan bukan malah untuk melegalkan praktik-praktik yang melahirkan eksploitasi dan ketidakadilan. Tindak korupsi tentu termasuk hal yang harus diperangi Islam karena dapat menimbulkan masalah besar. Dengan kata lain, Islam harus ikut pula bertanggungjawab memikirkan dan memberikan solusi terhadap prilaku korupsi yang sudah menjadi epidemis ini. Tentunya Islam tidak bisa berbicara sendiri, harus ada usaha-usaha untuk menyuarakan konsep-konsep Islam, salah satunya dengan membongkar dogma hukum Islam.
Sejauh pengetahuan penulis, kata korupsi secara literer memang tidak ditemukan dalam khasanah hukum Islam, tetapi substansi dan persamaannya bisa dicari dan ditelusuri dalam hukum Islam. Analogi tindakan korupsi bisa ke arah Ghulul, sariqoh, pengkhianatan dan lain-lain, tetapi terma-terma tersebut masih perlu dikaji lebih lanjut. Terlebih lagi kalau menelusuri konsep hukum Islam untuk ikut memberantas tindakan korupsi.
Maka pada titik inilah menurut penulis penelitian ini penting untuk dilakukan tidak saja untuk mengklarifikasi kegundahan-kegundahan sebagaimana yang dirasakan penulis di atas tetapi lebih dari itu diharapkan bisa memberikan jalan keluar terhadap mewabahnya tindakan korup ini dan bisa sama-sama ikut serta menegakkan supremasi hukum di negeri berpenduduk Muslim terbesar di dunia ini.
B. Pokok Masalah
Penelitian ini memfokuskan pada permasalahan korupsi dan pemberantasannya di Indonesia dalam perspektif hukum Islam. Pola pemberantasan korupsi yang selama ini dilakukan oleh pemerintah belum terasa membawa hasil maksimal, maka kami berinisiatif sebagai bagian dari warga bangsa ini untuk ikut serta memikirkan kasus korupsi dan pemberantasannya ini dalam perspektif hukum Islam. Dalam penelitian ini penyusun akan memaparkan hal-hal sebagai berikut berikut:
1. Bagaimanakah prespektif hukum Islam mengenai tindak korupsi di Indonesia?
2. Bagaimana kontribusi hukum Islam untuk memberantas korupsi di Indonesia?
C. Tujuan dan Kegunaan
- Tujuan
1. Untuk mendeskripsikan korupsi dan pemberantasannya di Indonesia.
2. Untuk mengetahui pandangan hukum Islam tentang korupsi dan cara pemberantasannya.
- Kegunaan
1. Hasil penelitian ini diharapkan bisa memberikan kontribusi positif terhadap upaya-upaya pemberantasan korupsi yang sudah akut di Indonesia.
2. Sebagai sumbangan dalam memperkaya khazanah penelitian tentang korupsi terutama yang terjadi di Indonesia
D. Tela’ah Pustaka
Beberapa karya mengenai Korupsi yang sudah pernah ditulis antara lain buku berjudul Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya karya Andi Hamzah . Buku ini membahas tentang korupsi yang terjadi di Indonesia mulai dari sejarahnya, sebab-sebab, akibat sampai peraturan dan institusi pemberantasannya.
Kemudian karya S.H. Alatas yang berjudul Sosiologi Korupsi Sebuah Penjelajahan Dengan Data Kontemporer . Buku ini merupakan buku saku mengenai korupsi, dibahas di dalamnya tentang definisi korupsi, fungsi, sebab-sebab, dan cara pencegahannya. Buku lainnya adalah Controlling Corruption buah karya Robert Klitgaard yang dialihbahasakan oleh Hermoyo dengan judul Membasmi Korupsi . Buku ini secara komprehensif menjelaskan tentang korupsi mulai dari sasaran, pengertian, penyebab sampai pada upaya-upaya atau kebijakan pemberantasannya. Hanya saja buku ini tidak secara khusus membahas korupsi di Indonesia, meski demikian buku ini tetap penting untuk dibaca.
Kemudian buku karangan Lilik Mulyadi, SH. Tindak Pidana Korupsi. Di dalamnya menjelaskan tindak pidana korupsi sebagai salah satu bagian dari hukum pidana khusus, maka tindak pidana korupsi mempunyai kekhususan tertentu, ditinjau dari aspek hukum acara dan hukum materialnya .
Kemudian literatur keislaman yang berkaitan dengan masalah korupsi adalah buku yang berjudul Al-Halal wa al-Haram Fi al-Islam tulisan Dr. Muhammad Yusuf al-Qardawi. Dalam sub bab hubungan masyarakat, pada bagian hurmah al-amwal (melindungi harta benda) menekankan bahwa Islam membenarkan hak milik pribadi, maka Islam akan melindungi hak milik tersebut dengan undang-undang .
Adapun yang berbicara tentang suap dijelaskan di dalam buku at-Ta’zir fi Asy-Syari’ah Al-Islamiyah karya Abd Al-Azis Amir. Suap dikategorikan sebagai salah satu bentuk jarimah ta’zir. Dalam buku tersebut hanya mencontohkan kasus penyuapan terhadap hakim yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana supaya hukumannya diringankan.
Selanjutnya al-Mawardi dalam al-Ahkam as-Sultaniyah menyebutkan bahwa perbuatan tindak pidana yang menurut ketentuan-ketentuan syara’ adanya larangan yang diancam dengan hukuman had dan ta’zir, dan berbuat atau tidak berbuat baru dianggap sebagai tindak pidana apabila diancamkan hukuman terhadapnya.
Sebuah skripsi yang ditulis Nurul Khoiriyah Darmawati , berjudul Tinjauan Hukum Islam Terhadap Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menyimpulkan bahwa korupsi digolongkan ke dalam jarimah ta’zir yang macam dan batasan hukumnya diserahkan kepada penguasa selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syari’ah serta dapat mewujudkan al maslahah al ‘ammah. Di samping itu, UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah sesuai dengan prinsip-prinsip hukum Islam.
Kemudian ada buku yang ‘sepertinya’ berasal dari kumpulan ceramah berjudul Korupsi Dalam Perspektif Agama-Agama diterbitkan oleh LP3 UMY . Buku yang merupakan kumpulan tulisan tersebut menjelaskan tentang korupsi dari sudut pandang agama-agama, tetapi lebih menekankan kepada aspek moralnya saja. Dengan kata lain, pemberdayaan agama untuk menjalankan fungsinya sebagai moral force dalam rangka pemberantasan korupsi.
E. Kerangka Teori
Tindak korupsi dari sudut pandang apapun jelas tidak bisa dibenarkan. Oleh karena itu, tindakan korupsi adalah perbuatan salah. Dalam hukum Islam, perbuatan dosa atau perbuatah salah disebut jinayah atau jarimah . Abd al-Qodir Awdah mendefinisikan Jinayah: “Perbuatan yang dilarang oleh syara’ baik perbuatan itu mengenai jiwa, harta benda, atau lainnya” . Jadi jinayah merupakan tindakan yang dilarang oleh syara’ karena bisa menimbulkan bahaya bagi jiwa, harta, keturunan, dan akal. Sementara mengenai pengertian jarimah, al-Mawardi mendefinisikannya: “Larangan-larangan syara’ yang diancam oleh Allah dengan hukuman had atau ta’zir” .
Jinayah atau jarimah dalam ketentuan hukum Islam memiliki sanksi yang berupa had dan ta’zir. Perbedaannya had ketentuan sanksinya sudah dipastikan oleh nash sementara ta’zir pelaksanaan hukumannya diserahkan sepenuhnya kepada penguasa.
Menurut Makhrus Munajat , apa yang menyebabkan suatu perbuatan dianggap sebagai suatu tindak kejahatan tidak lain adalah karena perbuatan itu sangat merugikan kepada tatanan kemasyarakatan, atau kepercayaan-kepercayaan atau harta benda, nama baik, kehormatan, jiwa dan lain sebagainya, yang kesemuanya itu menurut hukum syara’ harus dipelihara dan dihormati serta dilindungi. Suatu sanksi diterapkan kepada pelanggar syara’ dengan tujuan agar seseorang tidak mudah berbuat jarimah. Korupsi adalah perbuatan yang sangat merugikan baik kepada individu, masyarakat, dan negara. Bahkan dampak yang ditimbulkan dari perilaku korupsi begitu luas terhadap moral masyarakat (al akhlak al karimah), kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh sebab itu, pantas kalau korupsi dalam hukum positif dimasukkan sebagai ‘extraordinary crime’, kejahatan luar biasa.
Meskipun tindak korupsi secara jelas merupakan perbuatan salah dan termasuk kategori jinayah atau jarimah namun secara jelas syara’ tidak menyebutkan kata ‘korupsi’ dalam nash-nash baik al-Qur’an maupun hadis. Oleh karena itu, maka dibutuhkan ‘ijtihad’ misalnya dengan menggunakan metode qiyas (analogi) untuk menemukan persamaan korupsi dalam literatur hukum Islam, melihat unsur-unsur umum-khusus jarimahnya , dan menentukan sanksinya.
Menurut teori konvensional, Salah satu cara yang paling baik untuk memerangi kejahatan semisal korupsi adalah dengan menghukum para penjahat atau pelaku dengan hukuman yang seberat-beratnya . Pemberantasan korupsi di RRC China misalnya dipandang berhasil karena para koruptor dijatuhi hukuman mati. Hanya persoalannya apakah penerapan hukuman yang seberat-beratnya tersebut misalnya sampai hukuman mati tidak dianggap melanggar HAM. Hal ini lagi-lagi akan menjadi perdebatan internasional dan menjadikan ruang yang sangat dilematis dalam upaya pemberantsan korupsi. Pada satu sisi ingin berhasil memberantas korupsi, tapi pada sisi yang lain khawatir dianggap melanggar HAM. Namun demikian, pemberian hukuman yang seberat-beratnya bahkan sampai hukuman mati terhadap para pelaku korupsi bisa menjadi pertimbangan yang sangat logis di tengah kebuntuan jalan dalam memberantas penyakit tersebut, sehingga membuat para pelakunya jera dan tidak akan mengulangi lagi perbuatannya serta menjadi peringatan dini yang sangat serius bagi orang lain yang mungkin akan mencobanya.
F. Metode Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan penelitian pustaka (library research) yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji atau menelaah sumber-sumber kepustakaan khususnya mengenai korupsi dan pemberantasannya di Indonesia dalam prespektif hukum Islam.
Penelitian ini menurut pengertian Pollack termasuk legal research yang bertujuan hendak menguji apakah suatu postulat normatif tertentu (postulat hukum Islam) memang dapat atau tidak dapat dipakai untuk memecahkan suatu masalah hukum tertentu in concreto dalam hal ini kasus korupsi dan pemberantasannya di Indonesia.
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif-analitik yaitu menggambarkan dan menganalisa secara cermat tentang korupsi dan pemberantasannya di Indonesia dalam prespektif hukum Islam.
3. Tehnik Pengumpulan Data
Tehnik pengumpulan data dilakukan dengan cara literer yaitu dengan menela’ah dan meneliti buku-buku yang memuat tentang wacana korupsi dan pemberantasannya di Indonesia dalam prespektif hukum Islam.
4. Metode Analisis Data
Setelah data yang dibutuhkan terkumpul, kemudian dilakukan analisa data dengan cara:
1) Deduktif: yaitu kerangka berfikir dengan berpijak dari konsep umum tentang korupsi dan pemberantasannya lalu diformulasikan dalam bentuk kesimpulan-kesimpulan yang bersifat khusus, parsial dan kasuistik yakni kasus korupsi dan pemberantasannya di Indonesia.
2) Analitis: yaitu pertama, menganalisa data-data mengenai korupsi dan pemberantasannya di Indonesia yang terkumpul sebagai dasar dalam penarikan kesimpulan. Kedua, menganalisa seperangkat postulat hukum Islam yang bisa dinisbatkan dengan korupsi untuk kemudian dikontekstualisasikan dengan kasus korupsi di Indonesia.
5. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam meneliti korupsi dan pemberantasannya di Indonesia dalam perspektif hukum Islam adalah pendekatan normatif. Yaitu pendekatan yang lebih menekankan kepada ketentuan-ketentuan hukum Islam yang telah ada baik secara tekstual maupun kontekstual.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar